SINJAI, Beritabenua--Tanah Sinjai yang selama ini hidup dari air, hutan, dan kerja keras rakyat kini diintai oleh keserakahan baru bernama investasi tambang emas. Di bawah bendera PT Trinusa Resources, izin tambang disulap menjadi dalih pembangunan. Janji kesejahteraan dipamerkan, tapi di baliknya tersimpan rencana besar: menghancurkan ruang hidup rakyat dan menjual masa depan generasi Sinjai.
Namun, Sinjai bukan tanah yang akan tunduk. Dari bukit hingga pesisir, dari kota hingga pelosok desa, suara perlawanan menggema. Aliansi Mahasiswa dan Pemuda Rakyat (AMPERA) Sinjai berdiri di garis depan menentang proyek destruktif memimpin rakyat melawan kebohongan yang dibungkus dengan kertas izin.
“Ini bukan tentang menolak pembangunan, ini tentang mempertahankan kehidupan,” tegas Rahim dalam pernyataan sikapnya. Senin (06/10/25).
Ia menelusuri peta wilayah, dokumen izin, dan AMDAL yang dikeluarkan, menemukan banyak kejanggalan yang menunjukkan bahwa tambang ini tidak hanya cacat administratif, tapi juga mengkhianati amanat lingkungan.
Sementara itu, Isyal menyebut tambang emas ini sebagai bentuk kolonialisme modern — penjajahan yang tak lagi datang dengan senjata, melainkan dengan kontrak, tanda tangan, dan kepentingan politik. “Mereka datang bukan membawa harapan, tapi kehancuran yang dibungkus dengan janji palsu,” ujarnya lantang.
Gerakan AMPERA Sinjai bukanlah ledakan emosi, melainkan perlawanan berbasis data, fakta, dan kesadaran ekologis. Mereka menuntut pemerintah daerah dan DPRD Sinjai untuk segera mencabut izin operasi PT Trinusa Resources. Jika tuntutan itu diabaikan, jalur hukum dan diplomasi nasional akan ditempuh: Komnas HAM, KLHK, dan KPK akan dilibatkan untuk membuka dugaan pelanggaran. Tidak berhenti di situ, laporan resmi juga akan dikirim ke UN Environment Programme (UNEP) dan Amnesty International, agar dunia tahu: di Sinjai, rakyat sedang berjuang melawan korporasi yang merampas hidup mereka.
Di lapangan, Allung memimpin konsolidasi massa. Ia bukan sekadar aktivis, tapi suara dari tanah yang terancam. “Kami siap bergerak. Jika perusahaan tidak menghentikan aktivitasnya, kami akan datang langsung ke depan pintu mereka. Tidak dengan amarah, tapi dengan keberanian,” katanya penuh tekad.
AMPERA Sinjai juga menuntut revisi tata ruang daerah agar wilayah ini ditetapkan sebagai zona non-tambang, dan mendesak investigasi atas dugaan kolusi politik yang meloloskan izin tersebut. Mereka menegaskan bahwa rakyat Sinjai berhak atas air yang jernih, udara yang bersih, dan hutan yang hidup — bukan pada janji yang dibayar dengan racun dan debu.
Bagi AMPERA Sinjai, perjuangan tidak berhenti pada penolakan. Setelah tambang dihentikan, Sinjai harus menegakkan kedaulatannya sendiri: pertanian berkelanjutan, konservasi air, dan ekowisata berbasis komunitas menjadi arah baru pembangunan. “Kita bisa hidup tanpa emas, tapi kita tak akan pernah bisa hidup tanpa tanah dan air,” ujarnya menutup pernyataan.
Di akhir sikapnya, AMPERA Sinjai melayangkan ultimatum keras kepada PT Trinusa Resources: hentikan seluruh aktivitas dan persiapan operasi tambang di Kabupaten Sinjai, atau rakyat akan turun menggetarkan tanah ini dengan aksi besar-besaran.