OPINI, Beritabenua- Di tengah gegap gempita kabar soal rencana penambangan emas di Sinjai, tak sedikit warga yang antusias menyambut dengan harapan besar. Mereka membagikan informasi lowongan kerja, bahkan menganggap kehadiran tambang sebagai jalan pulang kampung dan solusi ekonomi. Namun, apakah mereka benar-benar memahami apa yang mereka dukung? Atau mungkin mereka menolak melihat kenyataan pahit di balik janji manis itu?
Banyak hal yang seolah-olah menutup mata terhadap fakta bahwa tambang bukan hanya soal pekerjaan, tapi juga ancaman serius bagi lingkungan, sosial, dan budaya. Sikap seperti ini bukan sekedar naif, tapi berbahaya, seperti menunggu bencana datang lalu baru berteriak menolak. Apakah kita rela jadi generasi yang membiarkan kampung kita rusak hanya demi janji-janji yang belum tentu terealisasi?
Rencana operasional tambang emas di Sinjai kini semakin nyata. Informasi tentang izin usaha pertambangan (IUP) yang sudah masuk dan proses produksi yang akan mulai berjalan menimbulkan kekhawatiran yang serius. Ironisnya, proses perizinan ini berlangsung tanpa partisipasi masyarakat yang memadai, tidak ada sosialisasi yang jelas, apalagi ruang dialog yang melibatkan masyarakat luas. Padahal, pengalaman dari berbagai daerah lain di Indonesia menunjukkan bahwa tambang emas bukan sekadar membuka lapangan kerja atau meningkatkan perekonomian daerah.
Kasus PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, adalah contoh nyata bagaimana tambang emas besar padahal tidak otomatis membawa kesejahteraan bagi masyarakat lokal. Meskipun Freeport adalah tambang terbesar ketiga di Indonesia, banyak pekerja/Buruh lokal yang justru tidak merasakan manfaat yang signifikan. Lebih parah lagi, limbah tailing dan merkuri dari proses pengolahan tambang telah mencemari sungai-sungai utama dan laut, merusak sumber penghidupan masyarakat adat Sempan dan Mimika yang sangat bergantung pada sungai dan laut. Dampak lingkungan yang luas ini memicu konflik sosial dan ekonomi yang berkepanjangan, bahkan memecah belah komunitas lokal.
Studi kasus lain dari Gunung Tumpang Pitu, Banyuwangi, menampilkan bagaimana izin tambang emas yang dikeluarkan tanpa pengelolaan yang baik memicu konflik vertikal antara masyarakat, pemerintah daerah, dan perusahaan. Masyarakat yang sebelumnya harmonis menjadi terpecah antara yang pro dan kontra tambang, hingga menimbulkan ketegangan sosial yang merembet ke aktivitas sehari-hari seperti kegiatan pengajian dan acara kematian. Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi juga soal kehancuran sosial yang sulit diperbaiki.
Di sisi lain, penambangan emas ilegal yang marak di berbagai daerah di Indonesia memperburuk kondisi lingkungan dengan pencemaran merkuri dan sianida yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan ekosistem. Data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menunjukkan ribuan ton merkuri yang digunakan setiap tahun dalam pertambangan emas, menyebabkan polusi udara dan tanah yang berkelanjutan. Ini mengingatkan kita bahwa tanpa pengawasan ketat dan tata kelola yang baik, tambang emas justru menjadi ancaman serius bagi kelestarian alam dan kesehatan masyarakat.
Kembali ke Sinjai, rencana penambangan emas seluas lebih dari 11.326 hektare di 4 Kecamatan dan 15 Desa menimbulkan pro dan kontra yang tajam. Anggota DPRD Sinjai bahkan mendesak pengkajian ulang izin tambang tersebut karena minimnya transparansi dan kekhawatiran dampak lingkungan di kawasan perbukitan yang menjadi sumber air penting bagi masyarakat. Namun, proses perizinan yang kini berada di tangan pemerintah pusat membuat pengawasan dan partisipasi publik menjadi sangat terbatas.
Apakah kita harus menunggu kehancuran datang lebih dulu. hutan gundul, sungai tercemar, konflik sosial meruncing baru kemudian berteriak menolak? Ataukah kita harus belajar dari pengalaman pahit daerah lain dan berpikir kritis sejak awal? Mendukung tambang hanya karena janji lapangan kerja dan peluang pulang kampung tanpa melihat risiko jangka panjang adalah sikap yang terlalu naif dan berbahaya.
Masyarakat Sinjai berhak mendapatkan informasi lengkap dan partisipasi ruang yang nyata dalam setiap proses perizinan. Pemerintah dan investor harus transparan dan bertanggung jawab, bukan hanya mengejar keuntungan sesaat. Jika tidak, kita hanya menunda kehancuran yang akan menimpa kampung halaman kita sendiri.