MAKASSAR, Beritabenua- Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dinilai sebagai bentuk kemunduran serius demokrasi dan ancaman nyata terhadap kedaulatan rakyat.
Kebijakan tersebut dikatakan bukan sekadar perubahan teknis, melainkan langkah regresif yang berpotensi menghidupkan kembali praktik demokrasi elitis dan tertutup.
Musycab IPM Sinjai Barat Tetapkan A. Muh Agus sebagai Ketua Baru
Nur Amin • sekitar 4 jam lalu
Berita Terkini
NGOPI PISPI: Dorong Hilirisasi Agribisnis Sulsel Berbasis Pedesaan
BeritaBenua.com • sekitar 16 jam lalu
Berita Terkini
Wacana ini menguat seiring dengan adanya pernyataan dukungan dari sejumlah partai politik nasional.
Kajari Bantaeng Sudah Keluarkan Sprintugas atas Dugaan Korupsi di RSUD Anwar Makkatutu
BeritaBenua.com • 2 hari lalu
Berita Terkini
STAI Muhammadiyah Blora Gelar Seminar Internasional Fiqh Wasathiyah
Titik Puspita Sari • 2 hari lalu
Berita Terkini
Beberapa partai, seperti Gerindra, Golkar, PAN, dan PKB, secara terbuka disebut-sebut mendukung model pemilihan kepala daerah melalui DPRD sebagai alternatif Pilkada langsung.
Nasruddin, mantan Ketua Umum PC Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Kota Makassar sekaligus mahasiswa Pascasarjana Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Hasanuddin (FEB Unhas), menegaskan bahwa dukungan elite partai terhadap skema tersebut justru memperkuat kekhawatiran publik akan semakin jauhnya rakyat dari proses demokrasi.
“Pemilihan kepala daerah adalah mandat langsung rakyat. Ketika hak itu dialihkan ke DPRD, maka suara rakyat secara substantif dihapuskan. Ini bukan reformasi sistem politik, tetapi pembunuhan demokrasi lokal,” jelasnya Rabu, (31/12).
Dirinya menilai pemilihan kepala daerah melalui DPRD sangat rawan kepentingan politik sempit, kompromi elite, dan transaksi kekuasaan yang tidak transparan.
“Ketika pemilihan di DPRD berlangsung tertutup, sarat kepentingan elite, dan mengabaikan aspirasi publik, maka lembaga perwakilan rakyat kehilangan legitimasi moralnya. DPRD tidak lagi berdiri sebagai wakil rakyat, tetapi sebagai arena kompromi kekuasaan,” sambungnya.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa menguatnya wacana ini mencerminkan lemahnya komitmen politik terhadap demokrasi partisipatoris yang telah diperjuangkan sejak reformasi.
“Hal ini menegaskan lemahnya demokrasi politik kita. Ini adalah langkah mundur menuju sistem politik yang semakin elitis dan berpotensi otoritarian. Ketika rakyat disingkirkan dari proses politik, maka demokrasi hanya tinggal simbol,” bebernya.
Ia juga mengakui bahwa Pilkada langsung memang memiliki berbagai kelemahan, seperti tingginya biaya politik dan potensi konflik elektoral. Namun menurutnya, kelemahan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mencabut hak politik warga negara.
“Jika Pilkada langsung dinilai bermasalah, maka yang harus dibenahi adalah tata kelola pendanaan politik, penguatan regulasi, dan pengawasan. Menghapus hak pilih rakyat justru menunjukkan kegagalan negara dalam mengelola demokrasi,” jelasnya.
Dengan tegas ia mengatakan bahwa mahasiswa dan masyarakat sipil memiliki tanggung jawab moral untuk bersikap kritis terhadap wacana tersebut.
“Jika hari ini suara rakyat dihilangkan, maka besok yang tersisa hanyalah demokrasi semu. IMM dan elemen mahasiswa tidak akan diam, karena demokrasi bukan pemberian elite, melainkan hak rakyat yang wajib dijaga dan diperjuangkan,” pungkasnya.





