Kasus Ceklok Sinjai, Kepastian Hukum, dan Bayang-Bayang Kekuasaan

BeritaBenua.com —
Penulis: Syahrul Gunawan, S.H., M.H.Penulis
Gambar Sampul

OPINI, Beritabenua- Berlarut-larutnya penanganan dugaan korupsi pengadaan mesin absensi fingerprint (ceklok) di lingkungan pendidikan Kabupaten Sinjai terus menimbulkan tanda tanya serius di ruang publik. Ketika sebuah perkara pidana berjalan bertahun-tahun tanpa kejelasan, yang dipertaruhkan bukan semata efektivitas penegakan hukum, melainkan juga integritas institusi penegak hukum serta keberanian negara dalam menegakkan hukum secara setara.

Kasus ini telah melewati sejumlah pergantian pejabat kunci di Polres Sinjai—mulai dari Kanit Tipikor, Kasat Reskrim, hingga Kapolres. Namun, dinamika struktural tersebut tidak berbanding lurus dengan kemajuan penanganan perkara. Situasi ini menimbulkan kesan bahwa hukum berjalan di tempat, sementara publik dibiarkan menunggu tanpa kepastian.

Pengadaan mesin absensi pada SD dan SMP di Kabupaten Sinjai pada Tahun Anggaran 2019–2022 yang bersumber dari dana Biaya Operasional Sekolah (BOS) bukanlah persoalan sepele. Dana BOS merupakan dana publik yang bersentuhan langsung dengan hak dasar peserta didik. Informasi mengenai dugaan potensi kerugian negara sekitar Rp720 juta seharusnya cukup menjadi dasar bagi proses hukum yang cepat, transparan, dan akuntabel.

Persoalan menjadi semakin sensitif ketika dalam proses penyelidikan, pihak kepolisian sempat menyebut dan memeriksa mantan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Sinjai yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Daerah Kabupaten Sinjai. Namun hingga kini, tidak terdapat kejelasan mengenai status hukum yang bersangkutan—apakah perkara akan ditingkatkan ke tahap penetapan tersangka atau justru dihentikan melalui mekanisme hukum yang sah.

Lihat Juga

Secara yuridis, pemeriksaan seseorang dalam tahap penyelidikan tidak dapat dimaknai sebagai penetapan kesalahan. Asas praduga tak bersalah wajib dijunjung tinggi. Namun dalam perspektif politik hukum dan tata kelola pemerintahan, ketidakjelasan lanjutan dari proses tersebut justru melahirkan persoalan baru. Ketika seorang pejabat strategis telah diperiksa tetapi perkara tidak bergerak menuju kepastian, publik secara wajar akan mempertanyakan independensi dan keberanian penegakan hukum.

Di titik inilah kasus ceklok Sinjai melampaui sekadar perkara hukum teknis. Ia menyentuh relasi antara hukum dan kekuasaan birokratis. Ketidakpastian yang berkepanjangan berisiko membentuk persepsi bahwa jabatan dan posisi struktural dapat menjadi faktor penghambat transparansi dan ketegasan hukum.

Persoalan utamanya bukan semata siapa yang harus dipidana, melainkan keberanian institusi penegak hukum dalam mengambil keputusan. Jika alat bukti dinilai tidak cukup, maka penghentian penyidikan melalui SP3 merupakan langkah hukum yang sah dan justru memberikan kepastian bagi semua pihak, termasuk mereka yang telah diperiksa. Sebaliknya, jika unsur pidana terpenuhi, penetapan tersangka—tanpa memandang jabatan atau posisi—merupakan kewajiban hukum yang tidak boleh ditunda.

Membiarkan perkara terus berada dalam kondisi menggantung hanya akan melahirkan ketidakadilan baru. Pihak yang telah diperiksa berada dalam bayang-bayang kecurigaan publik tanpa kejelasan status, sementara masyarakat semakin kehilangan kepercayaan terhadap netralitas penegakan hukum. Dalam kondisi demikian, asas praduga tak bersalah justru tergerus oleh ketidakpastian hukum yang dibiarkan berlarut.

Pergantian Kapolres Sinjai semestinya menjadi momentum untuk menyelesaikan perkara ini secara terbuka dan bertanggung jawab. Publik tidak menuntut kriminalisasi, melainkan kepastian. Keputusan hukum—apa pun bentuknya—akan jauh lebih bermartabat daripada pembiaran yang berkepanjangan.

Pada akhirnya, kasus dugaan korupsi pengadaan mesin absensi di Kabupaten Sinjai merupakan ujian nyata bagi prinsip kesetaraan di hadapan hukum. Kepastian hukum tidak boleh tunduk pada jabatan. Hukum yang ragu dan gamang justru membuka ruang kecurigaan publik bahwa keadilan masih memilih-milih. Dan dalam negara hukum, tidak ada kemewahan yang lebih berbahaya daripada hukum yang enggan mengambil keputusan.

Penulis:

Syahrul Gunawan, S.H., M.H.

Advokat / Mahasiswa Doktor Ilmu Hukum UMI

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Tambang Emas di Sinjai: Antara Janji Ekonomi dan Ancaman Lingkungan

    Arrang Saz 4 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Identitas Akademik dan Etika Publik di Tengah Polemik UNM

    BeritaBenua.com 26 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Banjir Sumatera dalam Takdir yang Dicuri

    BeritaBenua.com 27 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Jalan Berliku Menuju Sinjai Cemas?

    BeritaBenua.com sekitar 1 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Spirit Tembok Cina dari Qin Shi Huang ke Prabowo Subianto: Menenun Kejayaan dan Estafet Peradaban Menuju Indonesia Emas 2045

    BeritaBenua.com sekitar 2 bulan lalu

    Baca