OPINI, BeritaBenua.com — Kabupaten Sinjai dikenal dengan kontur perbukitan, kawasan hutan, serta wilayah pesisir laut yang saling terhubung sebagai satu kesatuan ekosistem. Kondisi geografis ini menjadikan Sinjai kaya potensi sumber daya alam, namun sekaligus rentan terhadap kerusakan lingkungan apabila pembangunan dilakukan tanpa kehati-hatian. Dalam konteks inilah, rencana pembukaan tambang emas seluas 11.362 hektar patut dikaji secara kritis.
Wilayah perbukitan dan hutan di Sinjai berperan penting sebagai daerah tangkapan air dan penyangga tanah. Pembabatan hutan untuk kepentingan tambang berpotensi menghilangkan fungsi alami tersebut. Ketika hujan turun, air tidak lagi terserap secara optimal, melainkan mengalir deras membawa material tanah. Banjir dan tanah longsor pun menjadi ancaman nyata, terutama bagi permukiman warga yang berada di wilayah hilir.
Berbagai peristiwa di Indonesia menunjukkan bahwa pembukaan hutan secara masif kerap berujung pada bencana. Banjir bandang dan longsor terjadi di daerah-daerah yang tutupan hutannya menurun drastis akibat aktivitas tambang dan eksploitasi sumber daya alam. Pola ini seharusnya menjadi peringatan serius bagi Sinjai agar tidak mengulangi kesalahan serupa.
Dampak kerusakan lingkungan tidak berhenti di daratan. Lumpur dan sedimentasi dari wilayah hulu berpotensi mencemari sungai hingga pesisir laut. Bagi masyarakat Sinjai yang menggantungkan hidup pada sektor perikanan, kondisi ini dapat menurunkan hasil tangkapan dan merusak ekosistem laut yang selama ini menjadi sumber penghidupan.

Spirit Tembok Cina dari Qin Shi Huang ke Prabowo Subianto: Menenun Kejayaan dan Estafet Peradaban Menuju Indonesia Emas 2045
BeritaBenua.com • sekitar 2 bulan lalu
Opini
Di sisi lain, pemerintah dan pendukung tambang mengemukakan alasan peningkatan ekonomi daerah. Tambang emas disebut mampu membuka lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan asli daerah. Namun, manfaat ekonomi tersebut perlu ditimbang secara jujur dengan risiko jangka panjang yang akan ditanggung masyarakat. Pengalaman di banyak daerah menunjukkan bahwa keuntungan tambang sering bersifat sementara, sementara kerusakan lingkungan berlangsung jauh lebih lama.
Persoalan utama terletak pada pilihan arah pembangunan. Apakah Sinjai ingin mengejar pertumbuhan ekonomi jangka pendek dengan mengorbankan lingkungan, atau membangun secara berkelanjutan dengan menjaga alam sebagai penopang kehidupan? Tanpa pengawasan ketat, transparansi, dan keterlibatan masyarakat, rencana tambang emas berpotensi menjadi beban ekologis dan sosial di masa depan.
Sinjai tidak kekurangan potensi. Pertanian, perikanan, dan pariwisata berbasis alam dapat menjadi alternatif pembangunan yang lebih berkelanjutan. Emas mungkin menjanjikan keuntungan, tetapi alam yang rusak akan meninggalkan persoalan yang jauh lebih mahal untuk diperbaiki.
Penulis: Arrang Saz







