OPINI, Beritabenua- Pelayanan publik yang profesional seharusnya menjadi wajah terbaik dari sebuah pemerintahan. Namun di Kabupaten Sinjai, wajah itu masih belum memancarkan kepercayaan.
Keluhan soal lambannya pelayanan, birokrasi yang berbelit, dan aparatur yang tidak ramah masih menjadi realitas sehari-hari. Tak sedikit masyarakat yang akhirnya merasa perlu “menitipkan berkas” atau membayar pungutan tak resmi demi mempercepat urusan mereka.
Fenomena ini bukan muncul secara tiba-tiba. Ia tumbuh dari kultur birokrasi yang tak responsif dan pola pikir aparatur yang menempatkan diri sebagai "penguasa meja", bukan pelayan masyarakat.
Konsep good governance yang seharusnya menjadi dasar pemerintahan yang bersih, transparan, dan akuntabel, justru berhenti sebagai jargon administratif tak sepenuhnya dirasakan manfaatnya oleh warga.
Kehadiran Mall Pelayanan Publik (MPP) di Sinjai patut diapresiasi sebagai langkah maju dalam menyatukan berbagai jenis layanan di satu atap. Namun, MPP bukanlah solusi menyeluruh. Ia hanya menyederhanakan akses secara fisik dan administratif tanpa jaminan bahwa etos melayani dan kualitas interaksi antara petugas dan warga akan otomatis membaik.
Jika mentalitas pelayanan masih lama, maka gedung baru hanya akan menjadi etalase dari birokrasi lama.
Sudah saatnya Pemerintah Kabupaten Sinjai mengubah paradigma pelayanan publik. Bukan hanya mempercepat proses atau mendigitalisasi layanan, tetapi menerapkan pendekatan yang lebih mendasar: citizen centered services. Konsep ini menempatkan masyarakat bukan sebagai objek, tetapi subjek dari kebijakan dan pelayanan.
Pemerintah tidak hanya mendengar, tetapi hadir, memahami, dan merespons kebutuhan warga dengan empati.
Dalam skema ini, masyarakat dilibatkan dalam merancang dan mengevaluasi layanan. Misalnya, membuka forum konsultasi publik berbasis komunitas desa, menyediakan kanal aduan yang benar-benar aman dan ditindaklanjuti secara transparan, serta melakukan survei kepuasan secara independen dan terbuka.
Pemerintah juga perlu melakukan audit menyeluruh terhadap pelayanan di tiap Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Pelatihan aparatur bukan hanya difokuskan pada peningkatan teknis, tetapi juga etika pelayanan, komunikasi publik, dan membangun budaya melayani. Aparatur tidak cukup hanya kompeten, tetapi juga harus empatik dan berintegritas.
Reformasi pelayanan publik bukan soal prosedur semata tetapi menyangkut keadilan sosial. Ketika negara gagal melayani dengan layak, maka yang paling terdampak adalah kelompok masyarakat yang tidak punya koneksi, akses informasi, atau kemampuan finansial untuk “mengakali sistem”. Dalam konteks ini, menata ulang pelayanan berarti memulihkan kepercayaan rakyat terhadap negara.
Pemerintahan yang baik adalah pemerintahan yang mendengar, bukan hanya berbicara. Sinjai membutuhkan aparatur yang hadir dan siap melayani, bukan dilayani. Dan untuk itu, perubahan harus dimulai dari dalam dari cara berpikir dan cara kerja birokrasi itu sendiri.
Oleh: Ashabul Qahfih (Aktivis HMI MPO Sinjai)