MAMUJU, Beritabenua- Revisi Undang-undang Kitab Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang kini tengah dibahas DPR RI sejak Februari 2025 menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia (Permahi) Cabang Mamuju, yang menilai bahwa draft terbaru RUU tersebut justru mengancam prinsip-prinsip hak asasi manusia dan akuntabilitas aparat penegak hukum.
Rahmania, Sekretaris Cabang Permahi Mamuju, menyampaikan keprihatinannya terhadap sejumlah ketentuan dalam draft revisi yang dianggap bermasalah dan tidak berpihak pada keadilan.
Salah satu keputusan paling kontroversial adalah penghapusan lembaga Hakim Pemeriksa Pendahuluan (HPP), yang sebelumnya diusulkan sebagai pengawas terhadap tindakan upaya paksa oleh penyidik.
"Dengan dihapusnya HPP, tindakan aparat penegak hukum sangat berpotensi dilakukan tanpa kontrol yudisial yang memadai. Ini membuka ruang pelanggaran HAM yang lebih besar." Tegas Rahmania.
Selain itu, Rahmania juga menyoroti sejumlah pasal bermasalah lainnya, antara lain :
1. Laporan pidana melalui media elektronik tanpa mekanisme verifikasi yang jelas.
2. Pelebaran kewenangan penyidik non polri tanpa sistem kordinasi yang tegas.
3. Ketentuan rekaman cctv dalam pemeriksaan yang tidak menjamin akses tersangka atau kuasa hukum.
4. Serta pendekatan restorative justice yang masih bersifat simbolik dan tidak menyeluruh
Rahmania juga menekankan bahwa proses revisi RUU KUHAP ini tidak berlangsung secara transparan, serta cenderung mengesampingkan prinsip partisipasi publik dan perlindungan hak asasi manusia.
"Draft terbaru ini bukan hanya tidak memperkuat perlindungan hukum, tapi justru menunjukkan kemunduran serius dalam penegakan hak asasi manusia. Ini sangat mengkhawatirkan." Tambahnya.
Permahi Cabang Mamuju mendesak DPR RI untuk menunda pembahasan lanjutan RUU KUHAP dan membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat sipil, akademisi, dan organisasi hukum agar revisi yang dilakukan benar-benar berpihak pada keadilan dan HAM.