Catatan Kritis Mahasiswa: Kampus Benteng Peradaban, Ritual Kepatuhan di Atas Kuburan Nalar

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis

OPINI, Beritabenua-- Label kampus peradaban hari ini tidak lebih dari ilusi besar yang dikapitalisasi oleh institusi pendidikan tinggi untuk menutupi bobroknya sistem yang mereka pelihara sendiri.

Peradaban yang digembar-gemborkan itu ternyata tidak melahirkan manusia bebas, tetapi mencetak lulusan yang jinak, patuh, dan tidak tahu apa-apa selain mengejar IPK dan gelar.

Dalam bukunya Orang Miskin Dilarang Sekolah, Eko Prasetyo memberikan pandangan bagaimana pendidikan tinggi di Indonesia. Bahwa kampus hari ini lebih mirip pasar daripada ruang pembebasan. Pendidikan telah direduksi menjadi transaksi. Siapa yang punya uang, dia yang bisa belajar. Siapa yang patuh, dia yang akan lulus. Maka pertanyaan yang kemudian muncul di mana letak peradaban dalam sistem seperti ini?

Biaya kuliah yang terus naik, skema UKT yang diskriminatif, hingga pembatasan ruang ekspresi mahasiswa merupakan wajah telanjang dari sistem pendidikan neoliberal yang menghisap. Mahasiswa bukan lagi subjek pendidikan, tapi konsumen yang harus membeli haknya sendiri untuk belajar. Sedang jasa yang dibeli tak pernah dijaminkan pekerjaan. Sementara dosen dan birokrasi kampus berubah menjadi penjaga sistem, bukan pembebasan.

Lebih parah lagi, kelas-kelas perkuliahan telah menjadi ruang pengkondisian massal. Mahasiswa diminta datang, duduk, mencatat, lalu pulang. Tak ada dialog, tak ada perdebatan, tak ada ruang untuk membantah. Kampus menjadi mesin produksi manusia-manusia setengah sadar—mereka punya ijazah tapi kehilangan keberanian untuk mengkritik. Kampus telah melahirkan ketakutan yang begitu besar terhadap mahasiswa nya.

Ketika ada mahasiswa yang mulai menggugat, mempertanyakan ketidakadilan, atau membongkar kemunafikan birokrasi kampus, mereka langsung diberi justifikasi pembangkang, radikal, atau perusak nama baik kampus. Inilah wajah fasisme dan anti-demokrasi akademik yang dibungkus dengan aturan tata tertib dan kode etik berlabel buku pedoman akademik atau buku saku, biasa disebutnya. Padahal seperti yang dikatakan Eko Prasetyo, kampus seharusnya menjadi tempat lahirnya orang-orang gelisah, yang melawan, bukan yang tunduk.

Bukankah Allah Swt. telah menegaskan:

“Janganlah kalian menyembunyikan kebenaran, padahal kalian mengetahuinya.”

(QS. Al-Baqarah: 42)

Ayat ini seharusnya menjadi landasan moral dan spiritual bagi institusi yang mengklaim sebagai "kampus peradaban". Tapi realitasnya, justru banyak kampus abai terhadap keadilan, mematikan semangat amar ma’ruf nahi mungkar, dan memelihara sistem yang menindas mereka yang paling lemah—terutama mahasiswa miskin dan aktivis yang kritis.

Kampus seharusnya menjadi tempat para pemuda belajar untuk tidak percaya begitu saja pada dunia, tetapi hari ini kampus justru menjadi tempat yang sangat percaya pada sistem yang sudah rusak. Tidak ada pembebasan, tidak ada keberanian berpikir, dan tidak ada keadilan.

Maka rekonstruksi sistem pendidikan di kampus peradaban bukan hanya soal membenahi kurikulum atau menata fasilitas. Tapi tentang meruntuhkan logika industri dalam pendidikan. Mengembalikan kampus pada fitrahnya sebagai ruang pembebasan. Menghapus dominasi dosen-dosen feodal yang alergi kritik. Mengakhiri praktik pendidikan yang diskriminatif terhadap orang miskin. Dan yang terpenting: membebaskan mahasiswa dari keterkungkungan kepatuhan tanpa berpikir.

Karena peradaban tidak akan lahir dari ruang kelas yang sunyi dan mahasiswa yang bungkam. Tidak ada lagi perdebatan yang liar untuk mencari kebenaran ilmiah. Peradaban lahir dari mereka yang gelisah, yang berani menggugat, dan yang bersedia melawan—bahkan terhadap kampusnya sendiri.

Senada apa yang ditegaskan Eko Prasetyo “Pendidikan itu harus memihak pada yang miskin, yang tertindas, dan yang tertinggal. Jika tidak, ia hanya akan menjadi alat penindasan yang lebih halus".

Penulis: Saldiansyah Rusli

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Apa Kabar Sinjai? Tambang Belum Beroperasi Tapi Banjir dan Longsor Sudah di Mana-mana

    Beritabenua sekitar 7 jam lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Sinjai Memanggil, Bagian II: Perang Tambang Emas?

    Beritabenua 1 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Sinjai Memanggil, Jangan Rusak Sungai

    Beritabenua 2 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Momen Refleksi yang Pahit bagi Polri: Apakah Institusi Ini Masih Dipercaya?

    Beritabenua 4 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Pekarangan Rumah: Pilar Ketahanan Pangan Desa di Kabupaten Sinjai – Sebuah Kolaborasi yang Membangun

    Beritabenua 6 hari lalu

    Baca

    Baru