OPINI, Beritabenua- Setiap kali suhu naik beberapa derajat atau hujan datang tak kenal musim, kita panik. Tapi setelah itu, kehidupan kembali seperti biasa: konsumsi plastik sekali pakai, AC menyala seharian, dan mobil tetap melaju meski jarak bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Di sisi lain, kita menuntut pemerintah membuat kebijakan hijau, menanam jutaan pohon, dan menurunkan emisi. Lantas, siapa sebenarnya yang paling bertanggung jawab atas kerusakan iklim hari ini, pemerintah atau kita sendiri?
Krisis iklim bukan lagi isu masa depan. Ini persoalan hari ini, dan jawabannya tidak sesederhana menyalahkan satu pihak. Pemerintah memang punya kekuasaan besar untuk mengubah arah kebijakan industri, energi, dan transportasi. Tapi tanpa kesadaran kolektif dari masyarakat, semua regulasi itu akan jadi formalitas semata. Di sisi lain, perubahan gaya hidup individu tak akan cukup jika kebijakan nasional masih mendukung energi kotor dan deforestasi.
Realitanya, krisis iklim menuntut kolaborasi dua arah: pemerintah harus tegas dan visioner, sementara individu harus sadar dan konsisten. Tak bisa lagi saling tunjuk. Karena bumi ini rusak oleh banyak tangan, dan hanya bisa diselamatkan jika semua tangan bergerak bersama. Pemerintah memiliki peran strategis dalam menghadapi perubahan iklim.
Kebijakan yang mereka ambil menentukan arah pembangunan apakah menuju keberlanjutan atau justru memperburuk keadaan. Regulasi tentang energi terbarukan, insentif untuk perusahaan ramah lingkungan, hingga pengendalian deforestasi adalah langkah-
langkah konkret yang hanya bisa dilakukan dari level atas. Tanpa dorongan kuat dari negara, industri besar akan terus beroperasi tanpa peduli dampaknya terhadap lingkungan.
Namun, membebankan semua beban kepada pemerintah juga tidak adil. Masyarakat adalah bagian tak terpisahkan dari sistem yang sedang berjalan. Cara kita berbelanja, menggunakan kendaraan, membuang sampah, bahkan memilih produk semuanya menyumbang jejak karbon. Kesadaran kolektif ditingkat individu bisa menjadi kekuatan besar jika dilakukan secara konsisten dan masif. Gerakan kecil seperti membawa tumbler, memilah sampah, hingga memilih transportasi umum adalah bagian dari solusi, bukan sekadar simbolisme.
Lebih jauh lagi, tekanan publik memiliki kekuatan yang tak bisa diremehkan. Pemerintah, pada akhirnya, bergerak mengikuti suara rakyat. Ketika masyarakat semakin vokal terhadap isu lingkungan, maka urgensi untuk bertindak akan semakin besar. Petisi digital, kampanye media sosial, dan aksi langsung adalah bentuk partisipasi yang mampu menggugah pengambil kebijakan.
Dengan demikian, pertanyaan "siapa yang bertanggung jawab" sebaiknya diganti menjadi "bagaimana kita bisa bergerak bersama". Karena tanpa kolaborasi yang nyata, upaya mengatasi krisis iklim hanya akan menjadi wacana. Pemerintah butuh dorongan dari masyarakat, dan masyarakat membutuhkan kebijakan yang mendukung perubahan perilaku. Keduanya harus bersinergi, bukan berjalan sendiri-sendiri.
Di tengah tantangan yang semakin kompleks ini, hanya ada satu jalan: bekerja sama. Lingkungan tak bisa menunggu, dan bumi tak lagi bisa menanggung sikap saling menyalahkan. Kini saatnya berhenti mencari kambing hitam, dan mulai menjadi bagian dari solusi.