OPINI, Beritabenua- Istilah self-healing kini begitu populer, terutama di kalangan generasi muda. Ia muncul dalam berbagai bentuk—dari unggahan jalan-jalan ke tempat wisata, menikmati kopi sendirian di kafe estetik, hingga aktivitas journaling ditemani lilin aromaterapi.
Unggahan tersebut kerap disertai tagar seperti #SelfHealing, #HealingTime, atau #TakeCareOfYourself, seolah menjadi semacam mantra modern untuk mengobati luka batin.
Namun di balik maraknya tren ini, muncul pertanyaan: apakah self-healing benar-benar merupakan bentuk kesadaran dan pemulihan diri, atau justru telah bergeser menjadi tren konsumtif yang semu?
Secara konsep, self-healing adalah proses pemulihan luka psikologis dan emosional yang dilakukan oleh individu secara mandiri.
Ini bisa dilakukan melalui berbagai cara seperti meditasi, menulis, beribadah, atau berbicara dengan diri sendiri untuk merefleksi pengalaman hidup.
Dalam masyarakat yang mulai sadar akan pentingnya kesehatan mental, self-healing menjadi salah satu bentuk perlawanan terhadap tekanan hidup yang semakin kompleks dan cepat.
Namun, dalam realitas yang lebih luas, makna self-healing mulai bergeser.
Banyak yang menjadikan istilah ini sebagai pembenaran atas perilaku konsumtif: liburan ke tempat mahal, belanja impulsif, atau menghindari tanggung jawab dengan dalih "butuh waktu untuk menyembuhkan diri".
Dalam konteks ini, self-healing tidak lagi mengarah pada proses introspeksi, melainkan pelarian yang dibalut estetika media sosial. Ini tentu menjadi ironi.
Penyembuhan diri yang sejatinya bersifat personal dan mendalam justru dipamerkan dalam bentuk citra yang dangkal.
Kekeliruan dalam memahami self-healing juga dapat menimbulkan dampak negatif.
Ketika seseorang mengira bahwa healing cukup dilakukan dengan berlibur atau menyendiri, tanpa berani menghadapi akar masalah atau trauma yang sebenarnya, maka pemulihan yang diharapkan hanya akan menjadi ilusi.
Bahkan, tidak jarang orang merasa gagal sembuh karena tidak mengalami perubahan signifikan setelah melakukan "ritual healing" tersebut.
Di sisi lain, kita tidak bisa menutup mata bahwa self-healing telah membuka ruang untuk diskusi publik tentang kesehatan mental.
Kesadaran masyarakat terutama anak muda terhadap pentingnya menjaga kondisi emosional dan psikologis meningkat cukup pesat. Ini adalah perkembangan positif.
Namun, agar manfaatnya benar-benar terasa, diperlukan pemahaman yang utuh dan kritis tentang apa itu penyembuhan diri.
Self-healing bukan sekadar aktivitas santai atau liburan estetik. Ia menuntut keberanian untuk menghadapi luka, menerima kegagalan, serta komitmen untuk terus bertumbuh.
Oleh karena itu, penting bagi media, pendidik, dan masyarakat secara umum untuk membingkai ulang narasi self-healing.
Bukan untuk melarang seseorang memanjakan diri, tetapi agar kita tidak terjebak dalam romantisasi penyembuhan. Sebab, penyembuhan sejati bukanlah proses yang instan atau mudah. Ia butuh waktu, usaha, dan kesadaran.
Oleh: Riska Sari