OPINI, Beritabenua- Si vis pacem para bellum. Artinya Jika ingin damai bersiaplah untuk perang. Ungkapan demikian dinyatakan ahli strategi Romawi, Venegitius. Postulat ini bermakna jika ingin memenangkan perang, inisiatiflah menyerang.
Postulat yang nampak tepat bagi Rektor Universitas Negeri Makassar (Prof Karta Jayadi/Prof Kaje). Ditengah tempaan issue dan laporan kekerasan seksual, Prof Kaje secara aktif membalik narasi ke publik. Bahwa dirinyalah yang dicemarkan nama baiknya. Dia yang digoda oleh Dosen Wanita UNM, lalu mengaku korban kekerasan seksual.
Dilansir media, Prof Kaje sampaikan Somasi terbuka disertai ancaman laporan cemaran nama baik. Tujuannya, tak lain untuk membendung laporan dugaan pidana kekerasan seksual yang diadukan korban.
Langkah itu mungkin tepat. Seperti pepatah, pertahanan yang baik adalah serangan sekuat-kuatnya. Demikian menurut Tsun Su. Namun, pepatah itu tidak berlaku dalam proses hukum tindak pidana kekerasan seksual.
Namun Laporan pidana cemaran nama tidak bisa menunda proses lidik-sidik kepada Prof Kaje. Kasus kekerasan seksual tidak identik dengan kasus lain, semisal penyerobotan tanah, yang dapat ditunda lidik sidiknya pabila ada perkara sengketa hak kepemilihan yang sedang berjalan.
Memang benar, dalam hukum pidana dikenal penundaan perkara (skorsing). Istilahnya Prejudicieel Geschil. Namun penerapannya terbatas dalam kasus yang berdimensi hak. Praktik demikian ditemukan dalam kasus-kasus penipuan berbasis perjanjian atau penyerobotan lahan yang beriringan dengan sengketa hak keperdataan.
Berbeda dengan kasus kekerasan seksual, negara memberi proteksi yang kuat bagi korban. Ia diberikan perlindungan untuk tidak dapat dituntut baik pidana maupun keperdataan sampai aduan kekerasan seksualnya berkekuatan hukum tetap. Upaya Prof Kaje dapat dipandang sebagai reviktimisasi.
Ketimbang melakukan manuver muspro (laporkan balik korban), baiknya Prof Kaje jujur pada diri dan tuhannya. Jika benar terjadi peristiwa itu, maka akuilah secara gentlement. Membungkuklah. Nyatakan maaf sedalam-dalamnya kepada korban dan kampus UNM, sambal memohon pertolongan dan pengampunan Ilahi.
Atau sebaliknya. Andai Prof Kaje merasa tidak melakukan kekerasan seksual, maka fokuslah, siapkan bukti penangkal sembari lanjutkan tugas pokok. Mengajar dan memimpin kampus UNM. Tak perlu melaporkan korban. Sebab sikap diam lebih baik untuk meredam publik dan menunjukkan betapa bijaknya ia sebagai pendidik, yang amat sangat terpelajar.
Berkacalah pada Tom Lembong. Ia begitu tenang hadapi dugaan rasuah hingga mendapatkan abolisi dari Presiden. Sikap diam dan santunnya itulah yang menuai simpati dan rasa kagum publik. Tak seorangpun yang dilaporkan pencemaran nama baik oleh Tom Lembong, meski hati dan harga dirinya tersayat, koyak.
Prejudicieel Geschil
Prinsip prejudicieel geschil berasal dari bahasa Belanda. Geschil bermakna “sengketa”. Sedangkan prejudicieel merujuk pada tahapan sebelum masuk pokok perkara di persidangan Pengadilan. Sederhananya prejudicieel geschil bermakna penundaan penuntutan atas suatu perkara pidana karena terdapat sengketa hak atas perkara tersebut.
Dalam hukum pidana terdapat penjelasan prinsip prejudicieel geschil, yaitu termaktub dalam ketentuan Pasal 81 KUHP. Bahwa penundaan penuntutan perkara pidana hanya dapat terjadi karena adanya perselisihan hukum sebelum putusan pokok.
Misalnya ada laporan penipuan atas ingkar dalam suatu perjanjian, namun disaat yang bersamaan berjalan gugatan perdata di Pengadilan. Maka keadaan demikian mengakibatkan penuntutan perkara pidananya harus ditunda, didahulukan perkara perdatanya berjalan.
Tujuan sejatinya dari prinsip Prejudicieel Geschil adalah untuk menghindari adanya disparitas putusan. Jangan sampai putusan perkara pidana berbeda atau menyimpang dengan perdata. Sebagai contoh : putusan pidana menyatakan di si A terbukti melakukan penyerobotan tanah. Lalu kemudian putusan perkara perdatanya menyatakan Si A adalah pemilih tanah yang sah. Tentu akan membingungkan jika Si A pemilik tanah yang sah, lalu disaat bersamaan dihukum karena penyerobotan tanahnya sendiri.
Andai akan diterapkan prinsip Prejudicieel Geschil, justru laporan Prof Kaje perihal pencemaran nama baik yang harus ditunda penanganannya. Alasan penundaannya karena pokok laporan dugaan tindak pidana kekerasan seksual sedang berjalan proses pengungkapannya.
Ada cara bagi Prof Kaje untuk menghentikan proses pemeriksaan kekerasan seksual, yaitu korban mencabut aduan. Hukum memberi ruang, karena kekerasan seksual berbasis eletronik adalah delik aduan. Hanya dapat terproses jika ada aduan dari korban. Begitupula akan terhenti jika korban mencabut aduannya.
Reviktimisasi
Perlawanan balik terduga pelaku kekerasan seksual acapkali dengan ragam cara. Mulai dari ancaman fisik, bujuk rayu korban dengan uang, hingga yang paling ekstrim “kriminalisasi” korban dengan laporan pencemaran nama baik. Bahkan media yang meliput kasus kekerasan seksual tak luput. Ikut dilaporkan pencemaran nama baik.
Dalam kasus yang menyeret Rektor UNM, Prof Kaje juga mengancam akan melaporkan korban atas dugaan pencemaran nama baik. Bahkan Prof Kaje menyatakan dirinyalah yang digoda. Disapa korban dengan panggilan ‘Prof Ganteng”. Katanya ada bukti percakapan chat WhattsApp.
Sungguh, upaya yang dilakukan Prof Kaje adalah strategi membalikkan keadaan. Semestinya yang menjadi korban adalah dosen wanita UNM. Namun Prof Kaje mengjungkirbalikkan situasi dengan menempatkan dirinya sebagai korban.
Fenomena kriminalisasi demikian dikenal dengan istilah reviktimisasi. Tujuannya adalah menghalangi korban untuk mendapatkan akses keadilan karena adanya ancaman kriminalisasi balik.
Padahal secara hukum, korban dilindungi haknya. Hak untuk melapor, hak untuk didampingi secara hukum maupun psikis, termasuk hak untuk dilepaskan dari ancaman balik dan intimidasi selama proses hukumnya berjalan. Semuanya dengan tegas termuat dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Bahkan dalam UU tersebut, aparat penegak hukum dapat mengenakan pembatasan gerak bagi terduga pelaku kekerasan seksual untuk dijauhkan dari korban. Semua proteksi itu diberikan oleh negara, tujuannya tak lain agar korban mendapatkan rasa nyaman dan aman dan negara.
Kini, penantian korban adalah keadilan. Bukan kriminalisasi. Kasus kekerasan seksual tak pantas untuk ditransaksikan, sebab apa yang didapatkan secara jahat, akan hancur menyengsarakan. Male parte male dilanbuntur.
Penulis: Syahrul Gunawan, S.H.,M.H. (Advokat Muda Makassar / Mahasiswa Doktoral FH UMI)
*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.