OPINI, Beritabenua- Gelombang integritas menghantam Universitas Negeri Makassar (UNM). Tak main-main, Rektornya (Prof Karta Jayadi/Prof Kaje) dirundung kasus amoral. Lakonnyamengirim chat dengan konten porno dikuak media ke publik. Korbannya adalah anak buahnya sendiri. Dosen wanita yang mengajar di UNM.
Perilaku mesum Prof Kaje rupanya telah berlangsung sejaklama. Jauh sebelum dirinya terpilih menjadi Rektor UNM. Kiriman konten-konten pornonya telah dimulai kala menjabatsebagai Wakil Rektor II, yang membidangi urusan umum dan keuangan kampus.
Pengakuan Dosen Wanita yang menjadi korban dari Prof Kaje, tak tahan lagi. Meski sempat menolak secara halus, menampik bahkan tidak membalas chat, dirinya selalu sajamendapatkan kiriman konten prono hingga ajakan ke Hotel. Kini, Dosen Wanita yang enggan disebut namanya oleh media mengalami trauma.
Kasus amoral yang terjadi didunia pendidikan tinggi bukanlahhal baru. Di Universitas Gadjah Mada terdapat Prof Edy Meiyanto yang berujung pemecatan. Universitas Sriwijaya, Dosen Aditya Rol Azmi berujung hukuman penjara, dan tahun lalu Dosen Prof Barlian dari Universitas Haluoloe juga dihukum penjara, namun terhindar dari pemecatan.
Jika berkaca pada kasus-kasus bermuatan pornografi yang terjadi di dunia pendidikan tinggi, kasus Prof Kaje terbilangunik, sebab korbannya adalah Tenaga Pendidik atau dosennyasendiri. Yang marak terjadi, korbannya adalah mahasiswa. Kasus tersebut terjadi karena ada relasi kuasa, antara Dosendan Mahasiswanya.
Sungguh perilaku Prof Kaje tidaklah mencerminkanPemimpin dan Pendidik dengan moralitas tinggi bagicerdasnya kehidupan bangsa. Sekiranya benar pemberitaanmedia itu, maka Prof Kaje harus dijerat pidana, dicabut gelarguru besarnya dan diberhentian secara tidak hormat sebagaitenaga Pendidik. Di berikan hukuman seberat-beratnya.
Terhadap Dosen Wanita terduga korban Prof Kaje harusdiberikan pendampingan, perlindungan dan pemulihan psikis, sebab dalam banyak kasus kekerasan seksual, selalu sajakorban disudutkan dengan cerita miring, bahkan dilaporkanbalik dengan ancaman pencemaran nama baik.
Pidana Kekerasan Seksual
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang TindakPidana Kekerasan Seksual (UU TPKS), memberi ruangmenjerat pelaku kekerasan seksual. Melalui UU TPKS, ragamperbuatan kekerasan seksual yang dulunya tidak dapat dijeratpidana, menjadi dapat dipidana.
Setidaknya terdapat 9 (sembilan) perbuatan kekerasan seksualyang diatur dalam UU TPKS, diantaranya: pelecehan seksualnonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaanseksual, eksploitasi seksual, dan terakhir adalah kekerasanseksual berbasis elektronik. Varian tindak pidana kekerasanseksual ini dapat dibaca dalam Pasal 4 ayat (1) UU PKS.
Tindakan Prof Kaje Mengirimkan chat dengan muatan kata-kata seksual, video porno bahkan mengajak kehotel dengantujuan seksual diluar keinginan Dosen Wanita tersebut adalahwujud dari tindak pidana kekerasan seksual berbasis eletronik. Ancaman pidananya paling lama 4 (empat) Tahun dan dapatdiikuti dengan denda sebesar dua ratus juta rupiah;
Bahkan jika ternyata terbukti tindakan Prof Kaje kepadaDosen Wanita tersebut dilakukan dengan tujuan pemerasanatau memperdaya korban, maka kepadanya dapat dijeratpidana (6) enam tahun dan dapat dikenakan denda hingga tigaratus juta rupiah. Demikian Pasal 14 UU TPKS mengaturnya.
Dengan status sebagai Rektor UNM sudah sepatutnyadihukum pidana seberat-beratnya. Ruang hukumanpemberatan baginya terbuka lebar. Prof Kaje dapatditimpakan tambahan hukum sepertiga dari pidana asalnya, sebab dirinya adalah tenaga pendidik. Dosen dengan gelarguru besar. Yang amat sangat tepelajar.
Tambahan hukum sepertiga dari hukuman pokok dapat dilihatpada Ketentuan Pasal 15 ayat 1 huruf b dan d UU TPKS. Rasio mengapa dapat diberikannya pemberatan hukumankepada Prof Kaje, alasannya karena kapasitas Prof Kaje bukanhanya tenaga pendidik/guru besar, namun dirinya adalahpimpinan Perguruan Tinggi, tempat korban bekerja sebagaiDosen. Terdapat relasi kuasa disana antara PimpinanPerguruan Tinggi dengan Dosen selaku anak buah yang takberdaya dihadapan kekuasaan Rektor.
Copot dan Pecat
Pada tahun 2021, Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Dan Tekhnologi telah menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan KekerasanSeksual Di lingkungan Perguruan Tinggi (Permenristekdikti30/2021). Setiap Perguruan Tinggi diwajibkan membentukSatuan Tugas Pencegahan Dan Penanganan kekerasanSeksual.
Dalam Permenristekdikti 30/2021 telah diatur sanksi bagipelaku kekerasan seksual. Pelaku yang berstatus Pendidikdikenakan sanksi administratif. Bentuknya: pemberhentiansementara dari jabatan tanpa hak jabatan, hinggapemberhentian tetap dari jabatan dan tenaga pendidik. Prosesnya dikerjakan oleh satuan tugas hingga berujung pada penjatuhan sanksi oleh pejabat berwenang.
Bagaimana jika pelaku kekerasan seksual adalah PimpinanPerguran Tinggi semisal Prof Kaje?. Satuan Tugas dari UNM yang memeriksa kasus tersebut wajib meneruskanrekomendasi sanksi kepada Menteri melalui Direktur Jenderalyang membidangi Pendidikan Tinggi. Satuan Tugas harusharus merekomendasikan pencabutan gelar guru besar, copotdari rektor hingga pemecatan sebagai dosen UNM.
Disinilah tantangan bagi Satuan Tugas UNM. KomitmenUNM untuk pencegahan dan penanganan kekerasan seksualmendapatkan ujiannya karena terduga pelaku adalah PimpinanPerguruan Tinggi. Rektornya sendiri. Satuan Tugas harusmenegakkan kehormatan UNM layaknya tegaknya budaya sirisebagai nilai moral yang dianut di Sulawesi Selatan.
Lindungi Korban
Kita harus mengapresiasi keberanian Dosen Wanita UNM yang melantangkan perbuatan rektornya. Namun apresiasisaja tidak cukup. Kepadanya harus diberikan pendampinganpelaporan, perlindungan dan pemulihan psikis. Tanggungjawabnya ada pada satuan tugas UNM dan pemerintah, sertaaparat penegak hukum yang related.
Mengapa perlu pendampingan pelaporan kepada Korban? karena perbuatan yang ditujukan kepada Prof Kaje adalahdelik aduan. Perbuatan yang hanya dapat diadili jika adaaduan dari korban. Proses pelaporan demikian potensimengalami hambatan, dan dapat digunakan sebagai celahuntuk menghambat pengungkapan perbuatan Prof Kaje.
Biasanya, untuk menghalangi korban mengadukan perbuatankekerasan seksual dilakukan dengan banyak cara. Mulaidengan menyerang psikis korban dengan membangun narasike publik seolah korban yang merayu Pelaku. Mengacamakan melaporkan korban melakukan pencemaran nama baik, hingga pendekatan persuasif berupa iming-iming ganti rugiserta teror kepada keluarga korban.
Pada titik inilah dinantikan komitmen semua pihak untukmenghindarkan Perguruan Tinggi dari praktik kekerasanseksual. Perilaku demikian sudah sepantasnya untuk di kecambersama. Bagi pemajuan Perguruan Tinggi. Tempatdicetaknya generasi bangsa yang bermoral.
Andai aparat penegak hukum, satuan tugas hingga pemerintahmendiamkan kasus Prof Kaje, menutup mata kasus kekerasanseksual, maka kedepan akan banyak terjadi kasus kasusserupa di dalam kampus. Maka terwujudlah adgium “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Nauzubillah.
Penulis : Syahrul Gunawan, S.H., M.H. (Mahasiswa Doktoral FH UMI / Advokat Muda Makassar)
*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.