"Panggung Megah di Atas Luka: Malino Bukan Lagi Milik Rakyat"

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis
Penulis

OPINI, Beritabenua- “Beautiful Malino” dulunya adalah nama yang menggambarkan keindahan alam, kesejukan udara pegunungan, dan keramahan masyarakatnya. Tapi hari ini, nama itu telah menjadi ironi besar. Sebuah kemasan palsu yang dibungkus dalam narasi pariwisata modern, namun sesungguhnya adalah bentuk kekerasan simbolik dan eksklusi sosial terhadap masyarakat Malino itu sendiri. Yang indah hanyalah baliho dan panggungnya—realitas di balik itu dipenuhi luka sosial, kerusakan ekologis, dan penggusuran kultural.

Pesta rakyat yang semestinya menjadi ruang bersama untuk merayakan budaya dan identitas lokal, kini berubah menjadi pesta para elite. Tiket berlapis-lapis diberlakukan, parkir dihargai mahal, hingga kebutuhan dasar seperti akses toilet pun dikomersialkan dengan harga yang tidak masuk akal. Semua ini menunjukkan bahwa festival ini bukan dirancang untuk rakyat, melainkan untuk para pemilik modal dan pengunjung dari kelas menengah ke atas. Masyarakat lokal hanya dijadikan pemanis atau bahkan hanya penonton dalam panggung yang dibangun di atas tanah mereka sendiri.

Padahal menurut UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, masyarakat lokal semestinya menjadi pelaku utama dan penerima manfaat dari kegiatan pariwisata. Namun apa yang terjadi di Malino justru sebaliknya: warga tidak dilibatkan secara aktif, bahkan akses mereka terhadap ruang publik dibatasi dengan pagar, aparat bersenjata, dan zona-zona eksklusif yang didirikan atas nama “keamanan.”

Ketimpangan yang Dibungkam dengan Panggung Hiburan. Festival ini telah menjadi bentuk penyangkalan terhadap keadilan sosial. Ketimpangan kelas tampak begitu vulgar: hanya mereka yang mampu membeli tiket dan membayar fasilitas mahal yang bisa “menikmati” Malino. Sementara itu, warga sekitar justru terpinggirkan dan menjadi pelengkap eksotisme—dijadikan objek tontonan budaya, bukan subjek dari peristiwa itu sendiri.

Seperti yang dikatakan sosiolog David Harvey, “Right to the city is not simply a right of access to what already exists, but a right to change it.” Rakyat Malino seharusnya punya hak untuk menentukan ruangnya sendiri, bukan sekadar diberi akses terbatas untuk hadir di dalamnya.

Ironisnya, di balik festival yang penuh lampu dan musik itu, hutan pinus Malino menjadi saksi bisu dari kekeringan, sampah berserakan, dan rusaknya vegetasi alam akibat overkapasitas manusia dan kurangnya kontrol ekologis. Tidak ada keberlanjutan, tidak ada evaluasi dampak lingkungan—yang ada hanya proyek instan tahunan yang mengejar keuntungan jangka pendek.

Lebih parahnya lagi, kehadiran aparat keamanan seperti polisi dan tentara dalam skala besar mengesankan bahwa ruang publik ini bukan lagi milik warga, tapi sudah menjadi milik negara dan korporasi. Ini adalah bentuk kekerasan struktural rakyat tidak hanya disingkirkan secara ekonomi, tapi juga ditekan secara militeristik. Apa yang terjadi di Malino adalah cermin dari pergeseran fungsi ruang publik di Indonesia secara luas.

Padahal dalam perspektif Islam, Allah Swt. berfirman dalam QS. Al-Qashash ayat 77:

"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu di dunia; dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu; dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."

Bukankah komersialisasi berlebihan, perampasan ruang rakyat, dan eksploitasi lingkungan adalah bentuk kerusakan di bumi?

Saatnya Merebut Kembali Ruang Rakyat. Sudah saatnya masyarakat bersuara. Malino bukan milik investor, bukan milik panggung musisi ibukota, apalagi milik elite birokrat daerah. Malino adalah milik rakyatnya—yang telah menjaga hutan pinus itu jauh sebelum tiket dikenakan, jauh sebelum panggung dibangun.

Kita harus menolak festival yang tidak adil. Kita harus menolak estetika yang membungkam, dan kita harus menuntut agar setiap bentuk pembangunan berpihak pada rakyat, bukan sebaliknya. Karena jika tidak, maka yang tersisa dari Malino hanya akan tinggal nama—“beautiful” hanya untuk segelintir orang, dan “tersingkir” untuk mayoritas masyarakatnya.

Oleh: Saldiansyah Rusli

Catatan: Tulisan Tidak di Tanggung Pihak Redaksi

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Catatan Kritis Mahasiswa: Kampus Benteng Peradaban, Ritual Kepatuhan di Atas Kuburan Nalar

    Beritabenua 6 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Apa Kabar Sinjai? Tambang Belum Beroperasi Tapi Banjir dan Longsor Sudah di Mana-mana

    Beritabenua 6 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Sinjai Memanggil, Bagian II: Perang Tambang Emas?

    Beritabenua 7 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Sinjai Memanggil, Jangan Rusak Sungai

    Beritabenua 8 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Momen Refleksi yang Pahit bagi Polri: Apakah Institusi Ini Masih Dipercaya?

    Beritabenua 10 hari lalu

    Baca

    Baru