OPINI, Beritabenua- Suara perlawanan menggema dari Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Bukan suara senjata, melainkan suara hati rakyat yang bersatu padu menolak rencana pembangunan tambang emas yang mengancam lingkungan dan mata pencaharian mereka.
Gerakan Rakyat Tolak Tambang (Geram Tolak Tambang) dan Aliansi Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Ampera (AMPERA) Tolak Tambang Sinjai, yang telah viral di media sosial, menjadi simbol perlawanan yang menginspirasi warga Kabupaten Sinjai Sulawesi Selatan dan Indonesia.
Adapun rencana pembangunan tambang emas seluas 11.326 Ha ini mengancam 15 desa di empat kecamatan yaitu Kecamatan Sinjai Tengah, Bulupoddo, Sinjai Barat, dan Kecamatan Sinjai Selatan.
Daftar desa yang terdampak begitu panjang yakni Desa Baru, Saohiring, Saotengngah, Kanrung, Bonto, Pattongko, dan Mattunreng Tellue di Kecamatan Sinjai Tengah.
Dan Desa Tompobulu, Bulu Tellue, Duampanue, dan Lammati Riaja di Kecamatan Bulupoddo. Desa Turungan Baji, Terasa, dan Bonto Salama di Kecamatan Sinjai Barat, serta Desa Talle di Kecamatan Sinjai Selatan.
Dan dampaknya akan masuk ke aliran Sungai Tangka dan anak-anak sungainya, seperti Sungai Toballo - Hulu Aruhu, Sungai Taddolli - Hulu Cakkelembang, dan Sungai Rumpala - Hulu Arango, serta aliran sungai di Desa Terasa Seperti sungai Rumbia dan Laha-laha yang bermuara di aliran Sungai Tangka.
Selain itu, Sungai Barihagang dan Sungai Bihulo juga sangat signifikan terkena pencemaran air dan dampaknya.
Pencemaran air sungai ini, akan menjadi ancaman utama. Limbah beracun seperti merkuri dan sianida, yang lazim digunakan dalam proses penambangan emas, akan mencemari sungai-sungai di sekitar lokasi tambang.
Aliran sungai yang selama ini menjadi sumber air bersih bagi masyarakat, akan terkontaminasi, mengancam kesehatan manusia dan hewan ternak. Air yang tercemar tidak hanya tidak layak konsumsi, tetapi juga merusak ekosistem perairan, membunuh ikan dan biota air lainnya, menghancurkan mata pencaharian nelayan di pesisir dan para petani yang bergantung pada sumber daya perairan sungai.
Lebih jauh lagi, kerusakan ekosistem sungai akan berdampak pada biodiversitas wilayah. Hilangnya habitat ikan dan organisme air lainnya akan mengganggu rantai makanan dan keseimbangan alam. Keanekaragaman hayati yang kaya di sekitar Sungai, termasuk berbagai jenis flora dan fauna endemik, akan terancam punah.
Tidak hanya itu, sedimentasi akibat aktivitas penambangan akan meningkatkan kekeruhan air, mengurangi penetrasi sinar matahari, dan mengganggu pertumbuhan tanaman air. Hal ini akan berdampak negatif pada kehidupan akuatik dan kualitas air secara keseluruhan.
Kekeruhan air ini juga akan menurunkan kualitas air irigasi, sehingga hasil pertanian akan menurun drastis. Karena tanah pertanian di sekitar lokasi tambang juga berisiko terkontaminasi oleh zat-zat kimia bahkan logam berat yang akan mengurangi kesuburan tanah dan merusak tanaman.
Inilah dampak jangka panjang dari tambang emas di sinjai yang sangat mengkhawatirkan. Kerusakan lingkungan akan berdampak pada penurunan kualitas hidup masyarakat, berkurangnya akses terhadap air bersih, dan menurunnya produktivitas pertanian.
Olehnya itu, penolakan masyarakat terhadap proyek tambang emas ini patut diapresiasi sebagai bentuk perjuangan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan keberlanjutan lingkungan. Kepentingan jangka pendek tidak boleh mengorbankan masa depan generasi mendatang.
Penulis : Si Pacul
*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis