OPINI, Beritabenua- Tahun ini menjadi lembaran suram bagi demokrasi di Kabupaten Sinjai, terutama bagi masyarakat adat yang berjuang mempertahankan hak mereka.
Momentum pemilihan bupati yang seharusnya menjadi pesta demokrasi rakyat berubah menjadi panggung pembungkaman suara-suara kritis yang meminta keadilan.
Salah satu peristiwa mencolok terjadi pada 11 Oktober. Pada hari itu, sejumlah masyarakat adat turun ke jalan untuk menyampaikan protes mereka.
Demonstrasi ini lahir dari rasa frustrasi yang memuncak setelah sebulan penuh mereka menunggu hasil Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dijanjikan pemerintah.
Selama waktu itu, suara dan tuntutan mereka diabaikan, sementara janji-janji penyelesaian konflik terus menggantung tanpa kejelasan, tetapi justru menimbulkan konfli yang baru.
Muh Ansar Zulkarnain menjadi korban kehutanan yang ditangkap karena melakukan penolakan pematokan pal batas di wilayahnya yang dilakukan secara sepihak oleh pemerintah dalam hal ini Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) wilayah VII makassar.
Beliau adalah seorang petani yang tinggal di komunitas adat Barambang Katute yang jauh-jauh dari kampung ke kota berharap suara mereka didengar tetapi justru berakhir di penjarakan oleh pemerintahnya sendiri.
Tidak hanya itu, Awaluddin Syam menjadi korban kedua ketua pengurus daerah Barisan Pemuda Adat Nusantara Sinjai juga ditangkap karena ikut bersolidaritas terhadap Masyarakat adat selama ini.
Penangkapan ini tidak hanya mempertegas jarak antara masyarakat adat dan pemerintah, tetapi juga mencerminkan bagaimana aspirasi rakyat sering kali diperlakukan sebagai ancaman.
Bahkan Kriminalisasi ini menambah catatan kelam konflik tenurial di wilayah adat kabupaten Sinjai khususnya komuitas adat Barambang Katute sepanjang 30 tahun terakhir dari 49 korban menjadi 50 korban.
Konteks ini tidak bisa dilepaskan dari kondisi masyarakat adat yang selama bertahun-tahun menghadapi marginalisasi. Hak atas tanah, sumber daya alam, dan identitas budaya.
Janji-janji dari pemimpin terutama yang digaungkan saat masa kampanye berulang kali terbukti kosong. Dalam situasi seperti ini, demonstrasi bukanlah sekadar ekspresi ketidakpuasan, melainkan upaya terakhir untuk didengar.
Namun tanggapan yang muncul menunjukkan arah yang berlawanan. Penangkapan para demonstran menjadi simbol nyata pembungkaman demokrasi di Kabupaten Sinjai.
Alih-alih membuka ruang dialog atau memediasi persoalan, pemerintah dan kepolisian memilih jalan represif yang hanya mempertebal rasa ketidakpercayaan terhadap institusinya.
Peristiwa ini menandai tahun di mana suara masyarakat adat tidak hanya diabaikan tetapi tidak di perthitungkan dan bahkan ditekan secara sistematis.
Demokrasi seharusnya menjadi ruang bagi semua pihak untuk menyuarakan pendapatnya, termasuk mereka yang berada di garis terdepan mempertahankan hak atas tanah dan budaya.
Namun, di Sinjai, demokrasi seolah menjadi milik segelintir orang, sementara mereka yang melawan penindasan justru dihukum. Peristiwa ini mengingatkan kita bahwa demokrasi tanpa keadilan sosial hanyalah sekadar ilusi, dan perjuangan untuk masyarakat adat adalah perjuangan untuk mempertahankan demokrasi itu sendiri.
Sinjai tahun ini adalah cermin buram dari kondisi demokrasi kita: penuh janji, tetapi kosong realisasi.
Penulis: Zulkifli staf AMAN