Filantropi Raksasa dan Masa Depan Vaksin TBC, Menimbang Pengaruh Bill Gates dalam Kesehatan Global

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis
Ilustrasi

OPINI, Beritabenua— Di era modern, wajah filantropi telah berubah secara drastis. Jika dahulu para dermawan dikenal lewat sumbangan sosial berskala kecil dan lokal, kini kekuatan mereka menjangkau laboratorium ilmiah, memengaruhi kebijakan internasional, bahkan menentukan arah riset medis dunia. Di garis depan transformasi ini berdiri Bill Gates, pendiri Microsoft yang kini menjelma sebagai salah satu aktor paling berpengaruh dalam kesehatan global melalui Bill & Melinda Gates Foundation.

Salah satu medan paling strategis dari pengaruh tersebut adalah pengembangan dan distribusi vaksin tuberkulosis (TBC). Penyakit ini, yang masih menjadi ancaman utama di banyak negara berkembang, telah lama menjadi prioritas dunia medis. Namun vaksin BCG, satu-satunya vaksin TBC yang tersedia secara luas selama hampir satu abad, diketahui memiliki efektivitas terbatas, terutama terhadap jenis TBC paru pada orang dewasa. Keterbatasan ini menjadi celah yang memanggil investasi besar-besaran untuk menemukan solusi yang lebih efektif.

Gates Foundation masuk ke wilayah ini sebagai investor utama, termasuk dalam pengembangan vaksin M72/AS01E, yang dalam uji coba awal menunjukkan potensi efikasi tinggi. Namun, ketika lembaga swasta seperti yayasan ini mulai menggelontorkan dana dalam skala besar, muncul pertanyaan mendasar: ke mana arah kesehatan publik ditentukan ketika kekuatan finansial pribadi menjadi penggerak utama?

Berbeda dari pemerintah atau organisasi internasional seperti WHO yang tunduk pada mekanisme akuntabilitas publik, yayasan swasta tidak terikat oleh sistem yang sama. Mereka tidak dipilih melalui pemilu, tidak wajib mempublikasikan setiap keputusan strategis mereka, dan dalam banyak hal dapat bergerak bebas sesuai agenda sendiri. Dengan kekuatan finansial yang mampu mengalahkan anggaran lembaga-lembaga publik di negara berkembang, Gates Foundation secara faktual memiliki peran menentukan siapa yang mendapatkan pendanaan, teknologi mana yang dikembangkan, serta pendekatan medis mana yang dianggap layak diprioritaskan.

Fenomena ini telah menarik perhatian banyak akademisi dan pengamat sosial. Linsey McGoey, profesor sosiologi dari University of Essex, menyebutnya sebagai “philanthrocapitalism” yaitu saat kekayaan digunakan bukan hanya untuk memberi, tetapi juga untuk membentuk sistem sesuai visi pribadi sang donatur. Dalam konteks ini, muncul pertanyaan etis dan politik: haruskah sistem kesehatan dunia diarahkan oleh satu aktor yang tidak pernah dipilih oleh publik, sebaik apa pun niatnya?

Pertanyaan ini semakin penting ketika kita menyoroti aspek transparansi dan potensi konflik kepentingan. Gates Foundation bekerja erat dengan sejumlah perusahaan farmasi besar dalam pengembangan vaksin. Kolaborasi ini memang menjanjikan dari sisi teknologi, tetapi juga menyimpan risiko. Apakah tujuan utama kerja sama tersebut benar-benar untuk memberantas penyakit? Atau justru menciptakan model distribusi yang tetap menguntungkan bagi industri farmasi, dengan dalih filantropi?

Dampaknya sangat nyata di negara-negara dengan beban TBC tinggi seperti India, Indonesia, dan Afrika Selatan. Di sini, ketimpangan akses terhadap layanan kesehatan tetap menjadi persoalan utama. Meskipun vaksin baru berhasil dikembangkan, tantangan distribusi yang adil, harga yang terjangkau, serta kesiapan infrastruktur medis tetap menjadi batu sandungan. Sayangnya, banyak program filantropi lebih fokus pada dimensi teknologi seperti menciptakan vaksin atau alat diagnostik daripada menyentuh akar masalah sistemik seperti kemiskinan, pendidikan kesehatan, atau reformasi sistem layanan publik.

Namun perlu diakui pula, tanpa intervensi Gates Foundation dan lembaga serupa, riset tentang vaksin TBC kemungkinan akan tetap terabaikan. Industri farmasi selama ini enggan menginvestasikan dana besar untuk penyakit yang dianggap tidak menguntungkan secara komersial. Dalam konteks ini, filantropi besar bisa menjadi penyambung harapan. Tetapi justru karena kekuatan itu besar, pengaruhnya harus diawasi dan diimbangi.

Dominasi satu suara betapapun berpengaruh dan bertujuan mulia tetap membutuhkan koreksi dan partisipasi lebih luas. Suara komunitas lokal, peneliti independen, lembaga pemerintah di negara berkembang, dan masyarakat sipil global harus ikut menentukan arah kebijakan kesehatan. Solusinya bukan menolak filantropi, tetapi membangun mekanisme partisipatif dan deliberatif yang menjamin bahwa keputusan tidak hanya diambil oleh mereka yang memiliki sumber daya paling besar.

Badan-badan internasional seperti WHO dan GAVI seharusnya memperkuat keterlibatan negara-negara berkembang dalam proses pengambilan keputusan. Pendanaan dari filantropi harus dilengkapi dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas, agar tidak berubah menjadi bentuk kekuasaan baru yang tak tersentuh kritik.

Bill Gates bukan satu-satunya aktor dalam panggung kesehatan global, tetapi pengaruhnya sangat besar dan tak bisa diabaikan. Dalam dunia yang semakin saling terhubung, kita membutuhkan lebih dari sekadar niat baik dan teknologi canggih. Kita butuh sistem kesehatan yang inklusif, adil, dan demokratis yang tidak ditentukan oleh satu tangan, tetapi oleh kolaborasi berbagai pihak yang bertanggung jawab kepada publik yang mereka layani.

Oleh: Titik Puspita Sari

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Mata Dibayar, Privasi Terjual: Ancaman di Balik Pemindaian Iris Berbayar

    Titik Puspita Sari 7 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Keadilan Proporsional: Menggali Makna Keadilan Menurut Aristoteles dan Kasus-kasus Nyata

    Beritabenua 4 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Urban Farming di Bandung Dukung Kemandirian Pangan Kota

    Rilwanu Rahman Alatas 5 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Pertanian Perkotaan dan Kesejahteraan Masyarakat Kota Balikpapan

    Muh Hawis Hakim 5 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Pembungkaman Demokrasi di Tengah Pemilihan Bupati

    Zulkifli 6 bulan lalu

    Baca

    Baru