Papua Kelaparan, Indonesia Kehilangan Arah Nurani

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis
Ai Project

OPINI, Beritabenua- Di ujung timur Indonesia, sebuah jeritan terus menggema dari tanah Papua. Bukan jeritan demonstrasi atau protes keras yang memenuhi jalanan ibu kota, melainkan jeritan sunyi dari tubuh-tubuh yang mengurus kelaparan jeritan yang terlalu lemah untuk sampai ke telinga pusat kekuasaan.

Di sinilah, saat perut-perut kosong tak mampu lagi menahan lapar, kita harus bertanya: masihkah kita satu bangsa?

Kelaparan di Papua bukan isu baru. Bahkan, dalam sejarah panjang negeri ini, Papua kerap diposisikan sebagai halaman belakang yang diingat hanya saat bencana datang. Ironisnya, bencana di Papua seringkali bukan karena alam, tetapi karena ketidakadilan. Ketimpangan pembangunan, korupsi, dan pengabaian sistematis telah menciptakan situasi di mana rakyat di tanah kaya itu justru hidup dalam kemiskinan dan kekurangan pangan.

Dalam podcast Close The Door bersama Bobon Santoso, Deddy Corbuzier menyoroti kenyataan memilukan di Papua. Bukan hanya soal pangan, tapi juga akses pendidikan dan kesehatan.

Bobon menceritakan bagaimana ia turun langsung ke pedalaman Papua. Di sana, ia menyaksikan anak-anak yang tak bersekolah karena tidak ada guru, ibu-ibu yang melahirkan tanpa bantuan medis, dan keluarga yang makan seadanya setelah menempuh perjalanan jauh hanya untuk mencari beras.

“Mereka tidak minta banyak. Mereka cuma ingin hidup seperti warga Indonesia lainnya. Bisa makan, sekolah, dan tidak mati karena penyakit ringan.” Bobon Santoso.

Papua telah mengalami kelaparan massal berkali-kali. Pada tahun 2018, ratusan anak di Asmat meninggal dunia karena gizi buruk dan campak.

Lalu terulang di Yahukimo dan daerah Pegunungan Bintang. Tahun 2024-2025 ini, kembali berita memilukan datang dari wilayah yang sama: warga mati kelaparan karena akses logistik terputus dan minimnya perhatian dari pusat. Di sinilah titik persoalan kita: bagaimana mungkin wilayah yang menyumbang emas, hasil hutan, dan kekayaan alam lainnya bagi Indonesia justru menjadi korban kekeringan pangan?

Dalam refleksi ini, kita perlu kembali ke sejarah. Lima puluh tahun lalu, Papua telah berada dalam pelukan Indonesia. Namun, selama itu pula, tak semua luka dijahit. Sebaliknya, luka sosial, politik, dan ekonomi justru dibiarkan menganga.

Ketimpangan ini diperparah oleh maraknya kasus korupsi, yang ironisnya seringkali terjadi justru di daerah-daerah yang paling membutuhkan keadilan dan pembangunan, termasuk Papua.

Dana otonomi khusus yang mengalir triliunan rupiah tidak benar-benar sampai ke tangan rakyat. Di tengah penderitaan warga, ada elite yang berpesta di balik meja.

Apa yang dibutuhkan Papua bukanlah simpati musiman, melainkan keadilan yang terus-menerus. Bukan hanya pembangunan jalan dan bandara, tapi juga pembangunan kepercayaan, kesetaraan, dan kemanusiaan. Papua tidak ingin dikasihani; mereka ingin didengarkan dan diperlakukan setara.

Indonesia harus berani berbenah. Bukan hanya dari sisi kebijakan atau infrastruktur, tapi dari cara kita memaknai kepemimpinan. Hari ini, negeri ini tidak lagi membutuhkan lebih banyak orang pintar yang hanya pandai bicara di televisi atau menyusun dokumen dari balik meja kantor. Yang dibutuhkan Indonesia adalah pemimpin yang mampu menundukkan kepala, yang mau turun langsung dan melihat sendiri penderitaan rakyatnya. Bukan sekadar mencatat angka dalam laporan, tetapi benar-benar mendengar suara-suara yang sering kali dibungkam oleh statistik.

Kecerdasan intelektual saja tidak cukup. Kita membutuhkan pemimpin yang juga cerdas secara spiritual mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai ladang pengabdian, bukan sekadar panggung pencitraan.

Pemimpin seperti ini lahir dari keseimbangan antara logika dan nurani, antara pikiran dan belas kasih dua hal yang sayangnya semakin jarang hadir di ruang-ruang kekuasaan hari ini.

Mari bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita masih satu bangsa jika ada bagian dari negeri ini yang kelaparan sementara yang lain berpesta dalam pesta demokrasi dan pembangunan? Apakah kita masih pantas menyebut Indonesia "merdeka" jika sebagian warganya tidak bisa hidup layak?

Papua adalah cermin, dan di sana kita bisa melihat wajah asli bangsa ini: penuh potensi tapi juga penuh luka. Saatnya berhenti menutup mata. Jika kita masih mengaku satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa, maka keadilan harus dibagi rata dari Sabang sampai Merauke, dari meja birokrat hingga dapur rakyat Papua.

Oleh: Titik Puspita Sari

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Pekarangan Rumah: Pilar Ketahanan Pangan Desa di Kabupaten Sinjai – Sebuah Kolaborasi yang Membangun

    Beritabenua 2 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Haruskah Menunggu Kehancuran Datang Lebih Dulu, Kemudian Teriak Menolak?

    Babon Mpa 2 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Sinjai Bukan Tanah Tambang, Menolak Invasi Emas Swasta

    Beritabenua 4 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Perang Iran-Israel Mengancam Perekonomian Global, Indonesia Harus Siap Hadapi Lonjakan Harga Energi

    Beritabenua 4 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Saya Kerja di Industri, Tapi Saya Tolak Tambang di Sinjai

    Beritabenua 6 hari lalu

    Baca

    Baru