SINJAI, Beritabenua--Rencana Badan Kepegawaian Negara (BKN) untuk mengisi formasi kosong Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) tahap II dengan skema optimalisasi menuai kritik dari berbagai kalangan.
Pemerintah daerah menyebut kebijakan tersebut tidak hanya membingungkan, tetapi juga berpotensi membebani keuangan daerah dan merugikan tenaga honorer yang selama ini menjadi tulang punggung layanan publik.
Kepala BKN, Zudan Arif Fakrulloh telah menegaskan bahwa instansi pusat maupun daerah dilarang memberhentikan honorer selama proses seleksi P3K berlangsung.
Formasi kosong hasil seleksi tahap I akan diisi kembali melalui mekanisme optimalisasi yang memprioritaskan pelamar dengan peringkat terbaik di masing-masing instansi.
Namun di lapangan, kebijakan ini dinilai menyandera anggaran daerah. Selama ini, gaji honorer banyak dialokasikan melalui pos belanja barang dan jasa, bukan dari belanja pegawai. Ketentuan baru tersebut memaksa pemerintah daerah mencari anggaran tambahan tanpa disertai petunjuk teknis yang jelas dari pemerintah pusat.
Seorang pejabat pemerintah daerah yang enggan disebutkan namanya mengungkap bahwa sejumlah program pelayanan dasar terancam terganggu, jika honorer tetap diwajibkan bertugas tanpa dukungan fiskal baru.
“Kami berada di ujung tanduk. Jika tetap dipaksa mempertahankan honorer, program vaksinasi dan layanan dasar bisa terhenti,” ujarnya.
Tak hanya soal anggaran, mekanisme optimalisasi pun dipersoalkan. Penempatan formasi disebut berdasarkan peringkat dan kategori pelamar prioritas, namun hingga kini belum ada kriteria baku mengenai bagaimana peringkat itu dihitung dan bagaimana sistem menangani penolakan penempatan dari peserta.
Ketidakjelasan ini memicu kekhawatiran akan potensi penyalahgunaan, terutama jika honorer ditempatkan secara sepihak ke daerah terpencil tanpa kompensasi yang memadai. Dalam situasi seperti ini, honorer berada dalam posisi sulit: bertahan tanpa kepastian atau menerima penempatan yang tidak sesuai kondisi pribadi dan keluarga.
Di sisi lain, regulasi juga dinilai saling bertentangan. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menjamin perlindungan tenaga pendidik non-ASN, namun Peraturan Menteri PAN-RB Nomor 6 Tahun 2024 mengatur sanksi bagi honorer yang menarik diri setelah mendapatkan Nomor Induk P3K. Tanpa keseimbangan antara hak dan kewajiban, kebijakan ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan administratif.