Media Dakwah Zaman Sekarang: Gaya Boleh Kekinian, Tapi Nilainya Harus Tetap Kuat

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis
Penulis

OPINI, Beritabenua--Dakwah bukan hal baru bagi kita sebagai umat Islam. Ia merupakan inti dari ajaran Rasulullah SAW sejak awal kenabian: menyampaikan kebenaran, menyeru kepada kebaikan, dan menjauhkan umat dari kesesatan. Namun, yang terus berubah dari masa ke masa adalah cara kita berdakwah.

Dulu, orang mengenal dakwah melalui ceramah di masjid, pengajian rutin di kampung, atau tayangan keagamaan di televisi. Hari ini, cukup buka ponsel dan scroll media sosial, kita bisa menemukan potongan dakwah dari para ustaz muda yang mengisi beranda TikTok, YouTube, Instagram, hingga podcast.Bahkan, "Ngaji" kini bisa dilakukan sambil rebahan.

Sebagai bagian dari generasi yang hidup di era digital, saya mengakui bahwa ini adalah kemajuan yang luar biasa. Dakwah menjadi lebih inklusif dan mudah dijangkau, terutama bagi anak muda yang mungkin belum akrab dengan majelis ilmu tradisional.

Banyak konten islami yang dikemas dengan gaya ringan, santai, dan sangat relate dengan kehidupan sehari-hari—dari curhat jomblo islami, tips hijrah, sampai kritik sosial berbalut hikmah. Pendakwahnya pun seringkali tampil keren, cerdas, dan komunikatif.

Namun, saya juga merasa perlu mengangkat sisi lain dari fenomena ini. Karena ternyata, tidak semua konten dakwah yang viral membawa misi kebaikan yang utuh. Ada yang terlalu mengejar algoritma dan trending topic, sampai-sampai ayat atau hadits digunakan tanpa konteks yang tepat. Bahkan, tak jarang, konten yang mengatasnamakan dakwah justru menimbulkan kegaduhan, kebencian, atau merasa paling benar sendiri.

Ini menjadi pekerjaan rumah bersama—bukan hanya bagi para pendakwah, tetapi juga bagi kita semua sebagai konsumen informasi. Para dai digital perlu kita dukung, asalkan mereka juga sadar akan tanggung jawab besar yang melekat pada dakwah. Bukan hanya sekadar lucu atau viral, tapi juga menyampaikan pesan yang benar, lembut, dan bijak.

Dalam konteks ini, saya teringat kutipan dari Yusuf al-Qaradawi dalam Fiqh al-Da’wah, yang mengatakan: "Al-da‘wah ilallah la budda an takuna mutawafiqah ma‘a zaman wa makan, wa illa faqad tafsidu ‘ala an-naas", yang artinya: "Dakwah kepada Allah harus relevan dengan zaman dan tempat, jika tidak, ia justru dapat merusak persepsi manusia terhadap agama."

Kutipan tersebut penting, sebab ia menegaskan bahwa media komunikasi hanyalah alat. Yang membuatnya berdampak adalah niat, cara, dan nilai yang dibawanya. Di era sekarang, media sosial bisa menjadi ladang amal atau sebaliknya, sumber fitnah. Tergantung siapa yang menggunakannya, dan bagaimana cara mengelola pesannya.

Nabi Muhammad SAW pun telah memberikan prinsip dasar dakwah dalam sabda beliau yang terkenal: "Yassirū wa lā tu‘assirū, wa basyshirū wa lā tunaffirū" (HR. Bukhari), yang berarti: "Permudahlah dan jangan mempersulit, berilah kabar gembira dan jangan membuat orang lari." Ini adalah inti etika dakwah, yang sangat relevan di tengah dunia digital yang cepat, padat, dan penuh distraksi.

Sebagai audiens, kita pun punya tanggung jawab. Jangan hanya asal share. Cek sumbernya. Pahami konteksnya. Diskusikan dengan guru atau ustaz yang kompeten. Literasi agama dan literasi digital perlu berjalan beriringan.

Bagi saya pribadi, media dakwah masa kini adalah anugerah. Tapi seperti semua alat, ia bisa membawa manfaat atau mudarat. Karena itu, gaya boleh kekinian—tapi nilainya tetap harus kuat. Dakwah seharusnya tidak hanya hadir di media, tapi juga menjadi wajah media itu sendiri: menyebarkan damai, memberi pencerahan, dan menyambung hati, pikiran, serta iman.

*Tulisan tersebut sepenuhnya tanggung jawab penulis.

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Papua Kelaparan, Indonesia Kehilangan Arah Nurani

    Beritabenua 16 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Filantropi Raksasa dan Masa Depan Vaksin TBC, Menimbang Pengaruh Bill Gates dalam Kesehatan Global

    Beritabenua 19 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Mata Dibayar, Privasi Terjual: Ancaman di Balik Pemindaian Iris Berbayar

    Titik Puspita Sari 25 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Keadilan Proporsional: Menggali Makna Keadilan Menurut Aristoteles dan Kasus-kasus Nyata

    Beritabenua 4 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Urban Farming di Bandung Dukung Kemandirian Pangan Kota

    Rilwanu Rahman Alatas 6 bulan lalu

    Baca

    Baru