OPINI, Beritabenua- Bukan karena bangga dikenal sebagai surga dunia, tetapi karena tubuh saya dicabik sedikit demi sedikit oleh tangan-tangan manusia yang rakus. Saya lelah jadi destinasi, lelah jadi brosur wisata, lelah dipuja tanpa dijaga.
Di mata dunia, saya adalah mahakarya Tuhan. Gugusan pulau karst, laut sebening kaca, hutan perawan, dan rumah bagi 75% spesies karang dunia. Tapi di balik biru laut yang memesona itu, saya menyimpan luka yang jarang disorot kamera wisatawan. Luka akibat eksploitasi yang dibungkus dengan kata-kata manis: “kemajuan” dan “pembangunan berkelanjutan.”
Resor-resor mewah tumbuh di sepanjang garis pantai saya. Sebagian dibangun di atas tanah adat yang dilepaskan bukan karena rela, tapi karena terpaksa. Nelayan yang dulu bebas melaut kini dihadang oleh batas-batas tidak kasat mata: zona konservasi yang dikuasai investor, atau perairan eksklusif milik kapal-kapal wisata mahal. Masyarakat adat saya orang Maya, Kawe, Biak, pelan-pelan digeser dari ruang hidupnya.
Tapi itu belum cukup. Kini datang satu ancaman yang jauh lebih mengerikan: tambang nikel.
Logam yang digadang-gadang sebagai “bahan baku energi hijau” ini sedang diburu di mana-mana, termasuk di perut saya. Di Waigeo dan beberapa titik sekitar Raja Ampat, izin tambang nikel mulai merambah wilayah-wilayah yang selama ini dianggap terlindungi. Bukit dibongkar, tanah digali, hutan diratakan. Lumpur merah mengalir ke sungai dan laut. Terumbu karang memutih tak hanya karena perubahan iklim, tapi karena diselimuti sedimen dari aktivitas tambang.
Ironis, bukan? Alam dirusak atas nama “masa depan berkelanjutan.”
Motor listrik, mobil listrik, baterai, semuanya dijual sebagai simbol kesadaran lingkungan. Tapi kenyataannya, produksi mereka justru menghancurkan ekosistem paling kaya yang saya miliki.
Kalau saya bisa bicara, saya akan mengadukan semuanya: bagaimana perusahaan tambang datang membawa surat izin, sementara masyarakat adat hanya punya cerita, tradisi, dan kesetiaan pada tanah. Negara yang seharusnya melindungi saya, malah memihak pemodal. Regulasi dilonggarkan, pengawasan longgar, dan suara warga dibungkam.
Saya pun ingin bertanya: di mana keadilan?
Ketika nelayan kecil tak bisa lagi melaut. Ketika perempuan adat kehilangan akses pada tanaman obat. Ketika anak muda lokal harus pergi dari kampung karena tak ada lagi pekerjaan selain menjadi buruh tambang atau karyawan resor asing. Yang rusak bukan hanya alam, tapi juga jati diri manusia yang hidup bersamanya.
Krisis ini bukan lagi soal ekologi semata. Ini adalah krisis keadilan sosial, hak hidup, dan moralitas. Kita tidak bisa lagi menutup mata dan menghibur diri dengan narasi "pariwisata berbasis konservasi" jika pada kenyataannya tanah adat dikuasai investor dan laut tercemar limbah.
Oleh: Titik Puspita Sari