Saya Kerja di Industri, Tapi Saya Tolak Tambang di Sinjai

BeritaBenua.com —
Beritabenua
BeritabenuaPenulis
Penulis

OPINI, Beritabenua- Beberapa hari terakhir, saya menerima banyak pesan dari pertanyaan soal lowongan kerja hingga dugaan keterlibatan saya dengan perusahaan tambang emas yang akan beroperasi di Kabupaten Sinjai.

Ini muncul setelah rencana eksploitasi tambang oleh PT. Trinusa Resource menjadi perbincangan hangat di tanah kelahiran saya.

Sebagai anak daerah yang kini bekerja sebagai surveyor di kawasan industri Morowali, saya merasa perlu meluruskan.

Saya bekerja di perusahaan penyedia jasa alat berat, bukan perusahaan tambang. Pekerjaan saya terkait pembangunan jalan dan lahan konstruksi, bukan eksploitasi mineral.

Namun, saya sadar, kritik bisa saja muncul: “Kenapa menolak tambang, padahal bekerja di industri ?” Jawaban saya jelas: justru karena saya bekerja di ekosistem industri itulah saya tahu risiko dan dampaknya jika tidak dijalankan dengan transparansi dan tanggung jawab.

Saya tidak ingin tanah kelahiran saya mengalami kerusakan yang saya saksikan sendiri di tempat lain.

Konsesi Luas, Dampak Meluas

Berdasarkan data Kementerian ESDM, PT Trinusa Resource mengantongi Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) sejak 18 Maret 2013 hingga 18 Maret 2033, dengan luasan 11.326 hektare, mencakup empat kecamatan: Sinjai Barat, Sinjai Borong, Bulupoddo, dan Sinjai Tengah.

Empat kecamatan ini bukan lahan kosong. Sinjai Borong merupakan hutan lindung dan sumber air utama untuk masyarakat Sinjai. Ia juga menjadi habitat satwa langka seperti anoa, spesies endemik Sulawesi.

Bulupoddo dan Sinjai Barat adalah kawasan pertanian rakyat, tempat ribuan orang menggantungkan hidup pada kesuburan tanah dan keseimbangan iklim mikro.

Jika tambang masuk, bukan hanya lingkungan yang rusak petani kehilangan lahan, sumber air tercemar, dan ekosistem hancur.

Potensi Sinjai Lebih dari Sekadar Tambang

Alih-alih menggantungkan masa depan pada emas di perut bumi, Sinjai memiliki kekayaan lain yang lebih lestari dan memberdayakan. Sektor pertanian, perikanan, kehutanan sosial, dan ekowisata berbasis budaya belum dikelola maksimal.

Di pesisir dan daratan, hasil laut dan pertanian bisa dikembangkan lewat inovasi dan pemasaran yang adil. Di daerah pegunungan seperti Sinjai Borong, potensi ekowisata dan jasa lingkungan terbuka luas. Mengorbankan tanah dan air demi tambang emas adalah keputusan jangka pendek dengan konsekuensi panjang.

Tambang seharusnya bukan pilihan pertama, melainkan opsi terakhir. Dan saat ini, Sinjai belum kehabisan cara untuk maju tanpa menggali tanahnya hingga habis.

Menolak Bukan Berarti Anti Pembangunan

Ada yang mengatakan, menolak tambang sama saja menolak kemajuan. Justru saya bertanya: apa arti kemajuan jika rakyat kehilangan tanahnya, airnya, dan udara bersihnya?

Saya tidak anti industri. Saya bekerja di kawasan industri. Tapi saya percaya bahwa setiap daerah punya konteks dan batas daya dukung. Morowali adalah kawasan industri besar yang disiapkan secara terencana. Sinjai adalah ruang hidup petani, hutan, dan sumber air bukan zona industri.

Kampung halaman bukan tempat untuk bereksperimen dengan tambang yang sarat risiko.

Pemerintah Harus Terbuka

Saya mendesak Pemerintah Kabupaten Sinjai untuk tidak sekadar memberi izin, tapi melindungi warganya. Rencana eksploitasi tambang harus dibuka ke publik. Sosialisasi partisipatif harus dilakukan. PT Trinusa Resource, DLHK, akademisi, tokoh pemuda, dan masyarakat adat harus duduk bersama dalam forum terbuka.

Jangan biarkan konflik agraria, perampasan tanah, dan benturan dengan aparat terjadi seperti di daerah-daerah lain. Pemerintah wajib hadir sebelum rakyat jadi korban.

Dari Tanah Rantau Saya Bersikap

Saya menyaksikan langsung bagaimana kawasan industri bisa menciptakan manfaat ekonomi, tapi juga menyisakan kerusakan ekologis dan ketimpangan sosial. Karena itu saya menolak tambang di Sinjai. Bukan karena saya membenci industri, tapi karena saya mencintai kampung halaman.

Saya tidak mau Sinjai hanya dikenang karena emas, tapi dikutuk karena kerusakan.

Penutup

Sinjai bukan titik di peta konsesi.

Ia adalah ruang hidup, warisan, dan masa depan.

Jika hari ini kita diam, besok kita akan bertanya: siapa yang akan memulihkan semua yang telah dirusak?

Sinjai bukan tanah tambang. Sinjai adalah tanah kehidupan.

Oleh: A. Amri Saiful Arma (Tokoh Pemuda Bulupoddo)

*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Dilema Porang Larea-rea: Investasi Menggoda, Izin Terbengkalai, Petani Menanti

    Beritabenua 2 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Melampaui Emas: Membangun Sinjai Berbasis Potensi Lokal

    Beritabenua 6 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Dampak Mematikan dari Pertambangan Emas

    Beritabenua 8 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Ketika Pulau Kecil Dikorbankan dan Undang-Undang Dilanggar oleh Negara Sendiri

    Beritabenua 8 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Raja Ampat Viral, Sinjai Menggali Diam-diam

    Beritabenua 9 hari lalu

    Baca

    Baru