Banjir Sumatera dalam Takdir yang Dicuri

BeritaBenua.com —
BeritaBenua.comPenulis

Ilustrasi oleh AI Project

Opini, BeritaBenua.com — Setiap kali bencana melanda Sumatera, banjir bandang di Agam, longsor di Pesisir Selatan, debit sungai yang tiba-tiba mengamuk di Aceh, atau kabut asap yang melumpuhkan langit Riau kita selalu mendengar kalimat yang sama, “Ini sudah kehendak Tuhan.” Kalimat yang terdengar religius, terdengar pasrah, tetapi terlalu sering dipakai sebagai selimut untuk menutupi kenyataan pahit bahwa sebagian besar bencana di negeri ini tidak turun dari langit, ia lahir dari kerakusan manusia yang diberi kuasa. Narasi “takdir” menjadi tirai panjang yang dipakai untuk memadamkan pertanyaan publik, menutup fakta yang sebenarnya lebih terang dari matahari siang.

Padahal sejarah alam Sumatera pernah begitu megah. Pulau yang dulu dihiasi hutan tropis seluas 25 juta hektare, dalam tiga dekade terakhir kehilangan lebih dari 56% tutupan hutannya. Data KLHK menunjukkan bahwa pembukaan lahan, industri kayu, dan ekspansi perkebunan telah menggerogoti paru-paru pulau itu sedikit demi sedikit, sampai akhirnya Sumatera tak lagi hijau seperti dalam buku-buku lama geografi. Tidak perlu menunggu wahyu untuk memahami akibatnya.

Di Sumatera Barat saja, BNPB mencatat lebih dari 1.200 bencana hidrometeorologi dalam lima tahun terakhir, dengan banjir dan longsor menyumbang lebih dari 70% kejadian. Ketika pepohonan hilang dan tanah kehilangan penyangga, air hujan tidak lagi meresap pelan. Ia jatuh seperti amarah yang kehilangan ruang untuk menenangkan diri. Lalu kita masih bertanya, apakah itu takdir, atau konsekuensi dari tangan manusia sendiri yang menulis kesalahan itu sejak bertahun-tahun lalu?

Dan hari ini, kita menyaksikan angka-angka yang tidak bisa dibungkus dengan kata “takdir.” Data PNBD mencatat 753 jiwa meninggal dunia, 650 jiwa hilang, dan lebih dari 2.600 orang mengalami luka-luka akibat rangkaian bencana yang melanda Sumatera. Angka-angka yang seharusnya menggetarkan nurani, tetapi justru sering tenggelam dalam pernyataan normatif para pejabat.

Lihat Juga

Yang lebih ironis, saat bencana datang, pejabat sigap menggelar konferensi pers. Ayat dibacakan, takdir dikutip, dan belasungkawa diumumkan. Namun ketika publik bertanya siapa yang menandatangani izin pembukaan hutan, siapa yang memberi restu untuk perluasan kebun di kawasan lindung, atau siapa yang meloloskan tambang emas di wilayah rawan longsor, ruang itu mendadak sunyi. Tidak ada takdir yang turun secepat izin investasi.

WALHI mencatat lebih dari 600 izin tambang beroperasi di sekitar wilayah rawan bencana di Sumatera Barat. Data KLHK tahun 2023 menunjukkan sekitar 1,09 juta hektare lahan gambut sudah berubah menjadi kebun sawit, padahal gambut adalah sistem alam paling rapuh di dunia sekali terbakar, ia berubah menjadi neraka kecil yang sulit dipadamkan. Setiap lembar izin yang diteken dengan gampang adalah garis kecil yang kelak menjelma patahan besar dalam kehidupan masyarakat.

Tuhan memang menciptakan alam, tetapi manusia terutama mereka yang memegang pena kekuasaan yang mengubahnya menjadi ladang risiko. Dan ada satu pola yang tidak pernah berubah, bencana paling mematikan selalu terjadi di daerah yang paling miskin. Bukan karena Tuhan pilih kasih, tetapi karena kebijakan pembangunan lebih sering berpihak pada yang punya modal ketimbang mereka yang punya kampung halaman.

Ketika pengusaha menuntut izin menebangi hutan, izin itu turun lebih cepat daripada air bersih yang diminta korban banjir. Ketika masyarakat memohon tanggul diperbaiki, mereka diminta bersabar, namun ketika korporasi menagih konsesi baru, surat persetujuan terkadang sudah keluar bahkan sebelum tinta permohonan kering. Dari sini terlihat jelas bahwa bencana bukan semata fenomena alam, melainkan hasil dari politik yang buruk, politik yang mengikuti alur uang, alur izin, dan alur kekuasaan.

Ketika alam akhirnya merespons kerusakan, itu bukan hukuman ilahi, melainkan alarm keras. Alarm yang memberi pesan bahwa amanah telah dikhianati oleh mereka yang seharusnya menjaga. Tuhan tidak menurunkan banjir sebagai murka, Ia hanya menurunkan hujan sebagaimana mestinya. Tetapi ketika hujan berubah menjadi bencana, itu terjadi karena manusia melanggar perintah paling dasar, menjaga bumi.

Jadi, apakah bencana di Sumatera berasal dari Tuhan atau ulah manusia? Jawaban yang paling jujur adalah ini, Tuhan memberi hujan, gunung, sungai, dan patahan alamiah. Tetapi manusialah yang memberi keserakahan, pembiaran, dan pengkhianatan terhadap amanah. Bencana alam adalah fenomena Tuhan, tetapi bencana besar yang menelan jiwa, harta, dan masa depan, itu lahir dari tangan manusia, terutama mereka yang memegang kekuasaan tanpa integritas.

Selama alam terus dirusak dan kekuasaan dipakai bukan untuk menjaga, melainkan memperkaya, Sumatera akan terus menangis. Dan kita akan terus mengulang kalimat yang salah, seolah-olah Tuhan harus memikul dosa yang tak pernah Ia lakukan.

Oleh: Titik Puspita Sari


Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan BeritaBenua.com. Tanggung jawab isi artikel sepenuhnya berada di tangan penulis.

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Jalan Berliku Menuju Sinjai Cemas?

    BeritaBenua.com 9 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Spirit Tembok Cina dari Qin Shi Huang ke Prabowo Subianto: Menenun Kejayaan dan Estafet Peradaban Menuju Indonesia Emas 2045

    BeritaBenua.com 23 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Bocornya Integritas di Balik TKA

    Sri Resqi Nurvarani 26 hari lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Reviktimisasi Rektor UNM

    BeritaBenua.com 3 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Chat Mesum Rektor UNM, Pidana Dan Pecat

    BeritaBenua.com 3 bulan lalu

    Baca