Sinjai, BeritaBenua.com - Beberapa waktu terakhir, publik dihebohkan dengan kabar bahwa soal Tes Kemampuan Akademik (TKA) untuk mata pelajaran wajib telah beredar luas di media sosial. Kebocoran soal ini terjadi bahkan sejak hari pertama pelaksanaan TKA. Sebagai pelajar, saya tidak dapat menyembunyikan rasa kecewa, marah, dan tidak percaya atas kenyataan tersebut.
Kasus ini bukan sekadar persoalan kebocoran soal, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap nilai kerja keras, kejujuran, dan keadilan. Kami berusaha belajar dengan serius, menyiapkan diri hingga larut malam, datang ke ruang ujian dengan kepala penuh hafalan dan doa. Sementara mereka datang membawa kecurangan dan rasa percaya diri palsu. Bagaimana mungkin kami dapat percaya pada sistem pendidikan hari ini jika keadilan yang seharusnya ditegakkan justru runtuh tepat di hadapan mata kami?
Menurut laporan Tirto.id (3 November 2025), beredar temuan bahwa bocoran soal TKA tersebar luas di berbagai platform media sosial. Bahkan, terdapat siswa yang menyiarkan proses ujian secara langsung di TikTok dan disaksikan oleh ribuan pengguna. Lebih memprihatinkan lagi, muncul akun-akun yang menjual “paket soal” lengkap dengan janji bahwa soal tersebut akan keluar pada ujian. Situasi ini mencoreng makna sejati ujian yang seharusnya menjadi cermin kemampuan dan kejujuran, tetapi justru berubah menjadi pasar gelap integritas, tempat nilai dijual murah dan kejujuran digadaikan.
Kemendikdasmen telah menegaskan akan memberikan sanksi tegas bagi pelaku kecurangan, , termasuk kemungkinan nilai TKA menjadi nol. Namun, di lapangan masih banyak siswa yang merasakan bahwa pengawasan ujian dilakukan hanya sebatas formalitas. Beberapa pengawas tampak hadir untuk mengisi daftar hadir, tetapi tidak aktif memantau jalannya ujian. Padahal tanggung jawab pengawas seharusnya tidak sebatas hadir secara fisik di ruang ujian. Pengawas memiliki peran penting dalam memastikan pelaksanaan ujian berlangsung jujur, tertib, dan bermartabat.
Kemerdekaan ke-80 RI: Persatuan Harus Lahir dari Kepastian dan Keadilan di Daerah
BeritaBenua.com • 3 bulan lalu
Opini

Namun faktanya, di beberapa lokasi, siaran langsung ujian melalui media sosial seperti TikTok dapat berlangsung selama hampir satu jam dan disaksikan ribuan pengguna tanpa adanya tindakan cepat dari pihak berwenang. Kondisi ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan kurangnya kesadaran terhadap pentingnya integritas dalam pelaksanaan ujian.
Jika hal tersebut dibiarkan, maka yang terancam bukan hanya kredibilitas ujian, tetapi juga kepercayaan terhadap sistem pendidikan itu sendiri. Sistem pengawasan ujian sejatinya memiliki peran penting dalam menjaga keadilan dan kejujuran akademik. Ketika fungsi tersebut tidak dijalankan dengan baik, maka nilai integritas dalam dunia pendidikan perlahan akan kehilangan maknanya.
Kebocoran soal dan rapuhnya sistem pengawasan ujian menunjukkan bahwa pendidikan di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Ujian yang seharusnya menjadi tolak ukur kemampuan peserta didik kini berubah menjadi arena ketidakadilan yang dilegalkan oleh kelalaian. Ini bukan sekadar pelanggaran aturan, tetapi juga pelanggaran moral dan nilai integritas yang menjadi fondasi pendidikan.
Lebih menyedihkan lagi, pelajar hari ini mulai terbiasa menormalisasi tindakan curang dan meruntuhkan nilai kejujuran yang seharusnya dibangun sejak di sekolah. Jika kebocoran integritas ini dibiarkan, maka ia akan berkembang dalam skala yang lebih besar, seperti di dunia kerja, politik, pemerintahan, dan bidang lainnya. Jika sejak di bangku sekolah kita sudah terbiasa diam melihat ketidakadilan, bagaimana mungkin kita dapat berharap melahirkan pemimpin yang jujur di masa depan?
Sebagai pelajar asal Kabupaten Sinjai, saya memahami betul beratnya perjuangan siswa di daerah. Kami belajar dengan keterbatasan fasilitas, koneksi internet yang tidak stabil, dan sarana yang serba terbatas. Namun, di tengah segala keterbatasan itu, kami berusaha untuk tetap menjunjung tinggi kejujuran. Dalam budaya Bugis-Makassar, kami mengenal nilai Siri’, yaitu harga diri yang berkaitan erat dengan kehormatan dan kejujuran. Nilai seperti inilah yang seharusnya menjadi landasan moral bagi setiap pelajar Indonesia.
Karena itu, saya berharap pihak berwenang tidak berhenti pada pernyataan tegas di media. Diperlukan tindakan nyata, evaluasi sistem pengawasan, serta langkah penegakan disiplin yang benar-benar berpihak pada keadilan. Jangan biarkan kebocoran dan kecurangan menjadi rutinitas tahunan yang menodai semangat belajar siswa Indonesia.
Kepada seluruh teman pelajar di mana pun berada, saya ingin menyampaikan satu hal penting: pendidikan bukan hanya soal nilai di atas kertas, tetapi juga tentang kapasitas, nama baik, dan integritas. Jangan biarkan kecurangan orang lain membuat kita ikut menghalalkan cara yang sama. Kepada para pengawas, kehadiran Anda sangat berarti, bukan hanya untuk mengawasi, tetapi juga untuk menjaga makna kejujuran dalam setiap ujian.
Pada akhirnya, ujian sejati tidak terjadi di atas kertas atau di depan komputer, melainkan dalam kehidupan nyata. Keberanian untuk tetap jujur meski ada peluang berbuat curang merupakan bentuk kemenangan yang sesungguhnya.
Cita-cita Indonesia Emas 2045 tidak akan lahir dari generasi yang pandai menyontek, melainkan dari generasi yang berani jujur di tengah kecurangan. Selama masih ada siswa yang menolak tunduk pada kebohongan, maka masih ada harapan bagi pendidikan yang bersih, adil, dan bermartabat.
Oleh: Sri Resqi Nurvarani
Awardee Youth Ekselensia Scholarship (YES) 2025,
Siswa Kelas XII SMAN 6 Sinjai, Sulawesi Selatan.
Tulisan ini adalah opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan BeritaBenua.com. Tanggung jawab isi artikel sepenuhnya berada di tangan penulis.







