OPINI, Beritabenua- Kita ribut soal Raja Ampat. Tentang kekayaan alam yang terancam tambang, tentang laut biru yang bakal dicemari, tentang gugusan pulau yang dianggap surga terakhir Indonesia. Kita marah, dan memang seharusnya begitu.
Namun dalam ribut itu, ada kesunyian yang mencurigakan, di tempat kita sendiri di Sinjai, Sulawesi Selatan, eksavator sudah berjalan, gunung-gunung sedang digerus, dan rakyat tak tahu apa-apa. Tidak ada demo. Tidak ada selebaran penolakan. Tidak ada suara keras. Yang ada hanya debu, lubang, dan diam.
Data resmi menunjukkan bahwa PT. Trinusa Resources telah mengantongi izin operasi produksi tambang emas seluas 11.326 hektare, mencakup wilayah Sinjai Barat, Sinjai Tengah, Bulupoddo, dan sekitarnya.
Bukan wacana, bukan rencana, izin ini aktif sejak 2013 hingga 2033. Dua dekade eksploitasi yang dibungkus dalam kesepakatan formal tapi minim partisipasi publik.
Yang lebih menyedihkan, Pemerintah Daerah Sinjai tidak terdengar, tak terlihat, dan tak terasa. Apakah mereka tidak tahu? Atau pura-pura tidak tahu? Ataukah mereka tahu tapi sudah duduk di meja yang lain?
Jika mereka tidak tahu, itu kegagalan. Tapi jika tahu dan diam, itu penghianatan.
Bahkan sebagian yang menyebut diri mereka sebagai aktivis ulung bungkam. Dulu lantang bicara tentang lingkungan, kini terperangkap dalam senyap yang ganjil.
Barangkali karena pelakunya bukan pemerintah pusat, bukan korporasi asing, atau barangkali karena jaraknya terlalu dekat: menyentuh tetangga, keluarga, atau mungkin dompet sendiri.
Ironi ini makin terasa getir ketika kita sadar bahwa kita lebih sering FOMO terhadap isu-isu ekologis yang jauh, tapi justru kehilangan nyali saat kerusakan datang dari arah dapur rumah sendiri.
Kita begitu mudah bersuara untuk tanah orang lain, tapi gagap saat tanah sendiri digadai.
Kita tidak anti investasi. Tapi kita anti pada model pembangunan yang menjadikan rakyat sebagai penonton, dan tanah mereka sebagai alat tukar diam-diam.
Kita tidak menolak kemajuan. Tapi kemajuan macam apa yang menyisakan lubang, air tercemar, dan konflik antar warga?
Kini waktunya bicara. Bukan hanya kepada perusahaan tambang, tapi juga kepada para pejabat yang membiarkan ini terjadi, serta kepada para aktivis yang tiba-tiba jadi sopan di hadapan ekskavator.
Jika hari ini kita bungkam, besok yang hilang bukan hanya hutan dan air tapi juga akal sehat, dan harga diri.
Oleh: Ashabul Qahfih (Aktivis HMI MPO Sinjai)