Masalah Besar dan Skema Raksasa
PT Trinusa Resources mengantongi IUP (izin usaha pertambangan) produksi emas di Sinjai sejak 2013. Luas wilayah konsesinya mencapai 11.326 hektare, mencakup kecamatan Sinjai Borong, Barat, Tengah dan Selatan. Area ini meliputi hutan lindung dan hulu Sungai Tangka, sumber utama air bersih untuk sawah, kebun dan PDAM.
Proyek ini bukan proyek kecil. Ini skema raksasa yang menyentuh nadi kehidupan warga. Ini menyangkut urusan tanah, air dan keberlangsungan hidup manusia
Rakyat Menolak Bukan Mengeluh
Warga menolak. Petani menolak. Masyarakat adat, mahasiswa, dan organisasi pemuda juga menolak. Sinjai Geram, KNPI, HMI Badko Sulsel, dan kelompok adat sudah menyuarakan sikap tegas. Mereka tidak bicara teori. Mereka bicara ancaman langsung terhadap tanah dan air.
Truk tambang merusak jalan. Warga kehilangan sawah. Sungai jadi keruh. Konflik sosial muncul. Semua ini bukan dugaan, tapi pola yang sudah sering terjadi di daerah lain.
Morowali, Cermin yang Mengingatkan
Morowali Utara jadi contoh nyata. Di sana, perusahaan tambang emas mencemari sungai. Air tak bisa diminum. Infrastruktur SPAM senilai Rp54 miliar gagal digunakan. DPRD Sulawesi Tengah marah. Mereka minta izinnya dicabut.
Kita tidak sedang berasumsi. Kita bicara pola. Pola seperti itu bisa saja terjadi lagi di Sinjai, karena daerah ini punya kondisi yang mirip. Hulu sungai sensitif. Lereng mudah longsor. Warga bergantung pada air bersih dan tanah yang subur.
Statistik Berbicara
Luas 11.326 hektare hampir menyamai 64 persen wilayah Kota Makassar. Artinya, tambang bakal menguasai ruang hidup rakyat desa. Bukan hanya satu titik, tapi menyebar ke berbagai hulu dan lereng.
Di Morowali, hanya ratusan hektare yang tercemar. Tapi di Sinjai, tambang bisa menyentuh ribuan hektare. Ini ancaman besar. Ini risiko ekologis yang sangat nyata.
Data pertanian mencatat Sinjai sebagai penghasil utama beras, cengkeh, kakao, dan hortikultura. Komoditas ini butuh air yang bersih dan tanah yang sehat. Tambang emas pasti merusaknya, jika dibiarkan jalan terus.
Ekonomi Tanpa Keadilan
Tambang emas di Indonesia selama ini hanya menguntungkan investor. Rakyat dapat kerusakan. HMI Badko menyebutnya kolonialisme gaya baru. Modal masuk. Lahan rakyat hancur.
Prinsip ESG (Environment, Social, and Governance) diabaikan. Investor ambil untung. Rakyat yang menanggung rugi.
Langkah Nyata dan Mendesak
Kita masih bisa melawan. Kita bisa cegah kerusakan sejak awal. Jangan tunggu bencana baru bergerak. Berikut langkah strategis yang harus diambil.
(1) Audit dokumen AMDAL dan proses perizinan. Lihat apakah penyusunan AMDAL sudah sesuai aturan. Pastikan masyarakat benar-benar dilibatkan. Telusuri, apakah dokumen itu sesuai kondisi geografis Sinjai.
Buka seluruh dokumen perizinan ke publik. Transparansi adalah hak warga. Jangan ada dokumen yang disembunyikan. Informasikan kepada publik sebelum kegiatan pertambangan berjalan.
(2) Bentuk tim pengawasan terpadu. Ajak petani, anak muda, WALHI, para dosen dan kelompok adat ikut terlibat. Beri wewenang menghentikan proses, jika ditemukan pelanggaran.
Tekan perusahaan agar menyetor jaminan reklamasi. Dana ini wajib dikunci di awal. Jangan menunggu tambang ditinggal, baru bicara soal pemulihan.
Dorong lahirnya Perda Perlindungan Lingkungan. Aturan lokal bisa jadi pagar kuat. Perda bisa lindungi hutan, air, dan lahan pangan.
(3) Bangun ekonomi rakyat yang lestari. Perkuat pertanian organik. Kembangkan ekowisata. Dorong agroforestri. Jadikan pemuda dan perempuan sebagai motor ekonomi lokal.
Sinjai Harus Memilih
Sinjai harus memilih tambang emas atau kehidupan yang berkelanjutan. Kita tidak bisa ambil keduanya sekaligus. Jika kita gali emas, kita juga gali kubur untuk air, tanah dan generasi.
Hutan dan sungai bukan milik investor. Hutan dan sungai milik rakyat. Milik masa depan.
Oleh: Amrullah Andi Faisal (Statistisi Ahli di Sinjai)
*Tulisan tersebut merupakan tanggung jawab penuh penulis.