Mata Dibayar, Privasi Terjual: Ancaman di Balik Pemindaian Iris Berbayar

BeritaBenua.com —
Tit
Titik Puspita SariPenulis
AI Project

OPINI, Beritabenua- Di tengah tekanan ekonomi yang makin terasa di berbagai penjuru Indonesia, sebuah fenomena baru muncul dengan wajah bantuan sosial namun menyimpan potensi bahaya besar, pemindaian iris mata dengan imbalan uang tunai. Di sejumlah daerah, terutama yang secara ekonomi tertinggal, antrean orang-orang yang rela matanya dipindai demi uang menjadi pemandangan yang mengusik nurani.

Mereka datang bukan karena ingin ikut dalam kemajuan teknologi, melainkan karena didorong oleh kebutuhan hidup yang mendesak. Dengan iming-iming uang tunai sejumlah puluhan ribu hingga ratusan ribu rupiah, mereka menyerahkan salah satu aset paling pribadi dan permanen dalam tubuh manusia yaitu data biometrik iris mata.

Sekilas, praktik ini tampak seperti solusi cepat atas kebutuhan ekonomi. Namun, bila ditelaah lebih dalam, pertanyaannya jauh lebih kompleks, apa sebenarnya yang sedang dijual, dan siapa yang sebenarnya diuntungkan?

Iris mata adalah bentuk identitas biologis yang sangat unik dan tidak tergantikan. Tidak seperti KTP atau kata sandi yang bisa dicabut dan diganti, data iris bersifat permanen. Begitu seseorang menyerahkan rekaman irisnya, maka ia telah memberikan akses kepada bagian terdalam dari identitasnya. Jika data ini jatuh ke tangan yang salah, risikonya tidak bisa dibalikkan dan bisa berlangsung seumur hidup.

Lebih memprihatinkan, program pemindaian iris ini cenderung menyasar kelompok-kelompok masyarakat yang berada di posisi rentan seperti buruh harian, masyarakat desa yang minim literasi digital, hingga warga kota kecil yang tidak mendapat cukup informasi tentang risiko privasi. Mereka diberi pilihan yang tidak setara uang tunai atau kehilangan kesempatan dan seringkali tidak benar-benar paham apa konsekuensi dari penyerahan data biometrik tersebut.

Indonesia, seperti banyak negara berkembang lainnya, sedang berada di persimpangan antara kemajuan teknologi dan ketiadaan regulasi yang memadai. Meski Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi telah disahkan, implementasinya masih sangat terbatas. Tidak ada transparansi yang jelas soal ke mana data iris ini disimpan, siapa yang mengaksesnya, dan untuk kepentingan apa. Dalam kekosongan hukum dan pengawasan, data yang begitu sensitif bisa saja dijual ke pihak ketiga, digunakan untuk pelacakan tanpa izin, atau bahkan disalahgunakan dalam kejahatan identitas.

Realitas ini menjadi semakin mengkhawatirkan jika kita menilik konteks global. Perusahaan-perusahaan teknologi raksasa kini berlomba-lomba mengumpulkan data biometrik sebagai “bahan bakar” kecerdasan buatan dan sistem komersial berbasis prediksi. Ketika data iris bisa dikumpulkan dari warga miskin dengan imbalan uang recehan, maka praktik serupa bisa saja meluas tidak hanya iris, tapi juga suara, wajah, bahkan DNA.

Masalah ini bukan semata teknis, tetapi juga etis. Menawarkan uang tunai kepada masyarakat miskin untuk mendapatkan akses ke data paling pribadi mereka merupakan bentuk eksploitasi terselubung. Ini bukan pertukaran yang adil, melainkan pemerasan halus yang memanfaatkan ketimpangan ekonomi dan ketidaktahuan. Dalam situasi seperti ini, martabat manusia dipertaruhkan hanya untuk beberapa lembar rupiah.

Kita tidak boleh memandang enteng praktik ini. Ia adalah bagian dari tren global di mana tubuh manusia diperlakukan sebagai komoditas. Jika tidak diantisipasi dengan kebijakan yang kuat dan pengawasan yang ketat, maka bukan tidak mungkin Indonesia akan menjadi “ladang panen” data biometrik bagi kepentingan asing maupun korporasi yang tidak transparan.

Pemerintah perlu bertindak cepat. Tidak cukup hanya dengan aturan normatif; dibutuhkan sistem pengawasan yang konkret, sanksi tegas terhadap pelanggaran, serta edukasi menyeluruh kepada masyarakat tentang pentingnya melindungi data diri. Di saat yang sama, peran media, akademisi, dan lembaga masyarakat sipil sangat penting untuk membangun kesadaran kolektif bahwa hak atas privasi adalah bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia.

Masyarakat pun perlu belajar untuk menolak tawaran-tawaran yang tampak menguntungkan di permukaan, tetapi menyimpan ancaman jangka panjang. Iris mata bukanlah sesuatu yang bisa ditukar seperti barang dagangan. Ia adalah bagian dari identitas yang melekat, yang seharusnya dilindungi, bukan diperjualbelikan.

Karena ketika hari ini kita menjual iris demi uang, maka esok kita mungkin akan menyaksikan harga diri dan keamanan pribadi kita dilelang kepada pihak yang tak kita kenal.

Oleh: Titik Puspita Sari

    Tim Editor

    Beritabenua
    BeritabenuaEditor

    Berita Terkait

    Cover
    Opini

    Keadilan Proporsional: Menggali Makna Keadilan Menurut Aristoteles dan Kasus-kasus Nyata

    Beritabenua 4 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Urban Farming di Bandung Dukung Kemandirian Pangan Kota

    Rilwanu Rahman Alatas 5 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Pertanian Perkotaan dan Kesejahteraan Masyarakat Kota Balikpapan

    Muh Hawis Hakim 5 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Pembungkaman Demokrasi di Tengah Pemilihan Bupati

    Zulkifli 5 bulan lalu

    Baca
    Cover
    Opini

    Netralitas Pemerintah Desa dalam Menyambut Pilkada 2024

    Nazirah 5 bulan lalu

    Baca

    Baru